Patut dipahami, risiko ini secara umum timbul akibat pangsa para peminjam dana (borrower) produktif di P2P lending, memang didominasi pelaku usaha kecil dan menengah, unbankable atau underserved, yang tentunya rawan terdampak pandemi Covid-19.
Inilah yang menyebabkan para pemberi dana (lender) cenderung menahan diri memberikan pinjaman. Akhirnya, kinerja fintech lending pun melambat, walaupun statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat industri ini tetap tumbuh secara bulanan selama periode 2020.
Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Tumbur Pardede mengakui industri fintech P2P lending tengah menghadapi tren ini.
Namun, Tumbur menjamin fenomena ini pasti dipahami seutuhnya oleh para penyelenggara fintech P2P lending eksisting, demi menenangkan para user-nya yang menjadi lender, serta menjaga kualitas kredit atau tingkat keberhasilan pengembalian pada hari ke-90 (TKB90) masing-masing.
"Jadi ibarat biro jodoh yang mempertemukan lender dan borrower, mana mungkin, di tengah kondisi seperti ini kita asal-asalan mencarikan jodoh. Kita punya tugas mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak, supaya keduanya sama-sama diuntungkan," jelasnya kepada Bisnis, Kamis (6/8/2020).
Oleh sebab itu, Tumbur mengungkap setidaknya ada empat aspek yang akan terus dijaga oleh para penyelenggara di era transisi selepas pandemi Covid-19 dan di era normal baru nantinya.
Dengan empat alasan ini, harapannya semakin banyak masyarakat yang tertarik menjadi lender baru, sementara yang telah menjadi lender eksisting di beberapa platform fintech lending, 'tak takut dan ragu' menjadi pendana aktif lagi.
Tak Semua Sektor Terdampak
Tumbur mengungkap bahwa pandemi Covid-19 bukan berarti melumpuhkan semua sektor. Masih ada potensi-potensi baru, bahkan justru banyak yang timbul dari usaha-usaha kecil segmen borrower utama fintech P2P lending.
"Potensi para pelaku usaha yang bermain di e-commerce atau jualan online, makanan-minuman, dan sektor kesehatan, jelas tidak akan kita sia-siakan. Justru mereka itu meminjam dana sebagai modal, karena usaha mereka sedang berkembang," ungkap Tumbur.
Hal ini bisa dilihat dari kinerja para penyelenggara fintech P2P lending yang khusus bermain di sektor-sektor 'aman', sehingga banyak yang masih belum punya borrower dengan kredit macet, angka TKB90 mereka pun tetap terjaga.
Makin Selektif
Tumbur mengaku pandemi Covid-19 tak bisa dipungkiri juga membawa tren tersendiri di kalangan para penyelenggara fintech P2P lending dalam hal seleksi borrower yang akan direkomendasikan.
Misalnya, berfokus menerima pengajuan pinjaman berisiko rendah, mengutamakan pembiayaan rantai pasok lewat kerja sama dengan pihak ketiga, dan lebih terbuka terhadap invoice financing.
"Taruhlah usaha yang berhubungan dengan akomodasi wisata, hotel, travel, jelas masih sulit masuk. Untuk invoice financing, kita akan lebih ketat melihat proyek mereka apa dan payor mereka siapa. Kalau perusahaan besar, BUMN, sudah pasti itu bisa masuk, kita percaya," tambahnya.
Sementara terkait kerja sama dengan pihak ketiga, Tumbur mengungkap ini bukan hanya menjadi tren di kalangan penyelenggara di masa pandemi saja. Namun juga telah diterapkan sejak lama sebagai upaya seleksi borrower terpercaya.
"Contoh, kita kerja sama dengan platform e-commerce, supaya bisa mengintip rekam jejak para penjual yang mau meminjam ke kita itu potensial atau tidak. Ada juga dengan perusahaan yang pasokan produksinya dari UMKM, atau pemerintah daerah yang punya UMKM binaan. Nah, pelaku UMKM yang sudah punya digital footprint seperti ini, pasti lebih mudah lolos seleksi karena terpercaya," jelas Tumbur.
Inovasi Teknologi
Sebagai platform berbasis teknologi, sudah jelas bahwa para penyelenggara fintech P2P lending pun akan mengedepankan teknologi sebagai upaya menghadapi kondisi yang diakibatkan pandemi Covid-19.
Mulai dari memutakhirkan algoritma credit scoring masing-masing, integrasi dengan Fintech Data Center (FDC), hingga memberikan reward kepada borrower-borrower yang memiliki track record bagus untuk direkomendasikan kepada lender.
"Jadi harapannya, jangan sampai karena ada satu-dua borrower yang jelek, platform kita jadi kena imbasnya, sementara lender jadi kapok. Nanti yang kasihan para borrower bagus di masa depan. Kita tidak mau ini terjadi, dan pasti sebisa mungkin memitigasi hal ini dengan inovasi dari masing-masing penyelenggara," tambah Tumbur.
Keterbukaan Jadi Kunci
Terakhir, di tengah ketidakpastian ekonomi masa transisi dan era new normal, patut dipahami pasti ada saja pelaku usaha, termasuk borrower fintech P2P lending yang memang sedang jatuh.
Oleh sebab itu, Tumbur menjelaskan platform fintech P2P lending yang baik, pasti akan jujur, dan berharap para lender memaklumi situasi yang ada.
"Seperti biro jodoh tadi, kita mengakomodasi kedua pihak, wakil dari keduanya. Kalau borrower ada yang macet, kita sebagai perwakilan lender punya kuasa menagih. Tapi kalau memang tidak kuat betul mencicil dan butuh relaksasi, kita pasti komunikasikan ke lender juga, meminta izin mereka untuk memberi keringanan. Jadi terbuka dan dua arah," ujarnya.
Tumbur menjamin, di tengah kondisi seperti ini, platform fintech P2P lending tidak akan mengambil risiko menawarkan hal-hal tidak masuk akal, bahkan tidak jujur terhadap keadaan borrower hanya demi menambah user atau menghimpun dana lebih besar.
"Anggota peer-to-peer AFPI, sebagai platform terdaftar dan berizin OJK, sekali membuat kesalahan, membohongi user, atau melanggar aturan, taruhannya itu kepercayaan masyarakat. Ini akan menjadi kerugian bagi si penyelenggara sendiri, juga ekosistem fintech lending itu sendiri," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel