IDI : Kebijakan Transportasi Harus Hati-hati

Bisnis.com,08 Agt 2020, 02:24 WIB
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Ilustrasi./Antara-Aji Styawan

Bisnis.com, JAKARTA — Ikatan Dokter Indonesia menilai pengelolaan transportasi yang baik selama pandemi adalah harus bisa mengimplementasikan perubahan demi perubahan dengan cepat.

Juru Bicara Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Abdul Halik Malik menyatakan upaya menggeliatkan sektor transportasi memang tak bisa diabaikan. 

"Transportasi ini jadi salah satu sektor yang paling sering dievaluasi, dan dikelola dan diatur mekanismenya," ungkap Halik kepada Bisnis, Jumat (7/8/2020).

Indonesia dengan populasi masyarakat yang besar dan mobilitas yang tinggi sangat sulit diatur dalam upaya physical distancing. Sementara sektor ini memberi kontribusi yang tinggi bagi perekonomian Indonesia.

Mengingat sejumlah standar akan dievaluasi termasuk wacana pencabutan syarat rapid test sebagai prasyarat bepergian, Halik menyatakan agar langkah ini perlu dikelola dengan hati-hati. Dengan begitu jaminan kesehatan masyarakat tetap terjaga 

Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban menambahkan Covid--19 punya seribu wajah untuk bisa terdeteksi. Adapun implementasi syarat rapid test yang diberlakukan di bandara, sampai daerah perbatasan, hanyalah salah satu prasyarat saja untuk menjaga pemutusan rantai Covid-19.

"Rapid test saat ini yang antibodi sebenarnya tidak detil dalam menentukan seseorang terinfeksi atau tidak. Misalnya, saya terinfeksi sekarang, kalau ikut rapid test hasilnya masih negatif," ungkap Zubairi kepada Bisnis.

Dia menyebut, tingkat penemuan kasus dalan waktu kurang dari dua minggu melalui rapid test hanya 30 persen. Sebaliknya, begitu lebih dari 2 pekan atau antara 2-3 minggu, terjadi penemuan kasus yang signifikan melalui rapid test, bisa sampai 90 persen.

Angka ini masih belum ditambah dengan potensi orang yang terpapar Covid-19 justru tidak mengalami gejala apapun.  "Jadi dari temuan ini seolah mengatakan buat apa kita rapid test kalau begitu?" ungkap Zubairi.

Oleh sebab itu segenap tim medis dan para ahli juga peneliti saat ini masih terus berjibaku untuk memberi tes yang ideal dan menjaga imunitas masyarakat. 

Dia pun menyebut jika rapid test sebagai syarat bepergian akan dihapus oleh pemerintah, sebaiknya pemerintah tetap mengacu pada standar dari International Air Transport Association (IATA), terutama terkait kriteria uji Covid-19 sebelum bepergian.

Mengutip dari data IATA, pemerintah seharusnya mengedukasi para pelancong yang baru tiba untuk melakukan tes. Setidaknya, cara ini bisa menurunkan skala penyebaran virus. Syaratnya, penerapan tes Covid-19 ini harus mengandalkan anggaran dengan efektif, serta tidak memberi beban tambahan pada sektor ekonomi.

Selain IATA, International Civil Aviation Organization (ICAO) menurut Zubairi juga sudah meluncurkan protokol kesehatan penerbangan yang harus dipatuhi maskapai seluruh dunia di setiap negara. Protokol pengecekan kesehatan secara berlapis ini berfungsi memitigasi risiko Covid-19 yang bisa menyebar dari udara. Terutama bagi negara dengan angka infeksi tinggi dan masih menanjak naik.

"Meski rapid tes Covid-19 tak terlalu akurat dibandingkan membuka perbatasan atau membangkitkan kembali jasa angkutan udara, namun metode tes Polymerized Chain Reaction [PCR] adalah tes yang paling akurat untuk menjamin kesehatan wisatawan," ungkap Zubaidi mengutip penjelasan dari IATA dan ICAO.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Miftahul Ulum
Terkini