Bisnis.com, JAKARTA — Kualitas sumber daya manusia atau SDM industri asuransi dinilai masih kurang berdaya saing seiring pendidikannya yang belum optimal. Banyaknya jebolan perbankan di industri dinilai sebagai salah satu indikasi 'kalahnya' kualitas SDM asuransi.
Pengamat asuransi dan Mantan Komisaris Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 Irvan Rahardjo menilai bahwa belum terdapat perkembangan signifikan dari kualitas SDM asuransi dalam beberapa tahun terakhir. Dia menyayangkan hal tersebut karena industri asuransi memiliki potensi yang kuat.
Dia menilai bahwa salah satu indikasi kurangnya daya saing SDM asuransi adalah adanya tren pimpinan perusahaan-perusahaan asuransi pelat merah yang diisi oleh jebolan-jebolan industri perbankan. Hal tersebut menurutnya tidak mengherankan karena kualitas SDM perbankan memang relatif teruji.
"Itu bisa dilihat misalnya dalam beberapa tahun terakhir, CEO asuransi Badan Usaha Milik Negara [BUMN] selalu dari luar [industri asuransi], yang mudah terlihat itu dari Bank Mandiri ada yang ke Jasindo, BRI ke Askrindo, juga ke Jiwasraya," ujar Irvan kepada Bisnis, Senin (10/8/2020).
Menurutnya, perusahaan-perusahaan BUMN dapat menjadi acuan dalam mengukur kualitas SDM karena perputaran jajaran manajemen akan mempertimbangkan performa perusahaan bagi penerimaan negara. Selain itu, kualitas pimpinan perusahaan BUMN pun akan menjadi sorotan.
Selain perusahaan BUMN, menurut Irvan, tren 'orang luar' di perusahaan-perusahaan asuransi swasta pun kerap terjadi. Bahkan, di perusahaan swasta, SDM dari luar negeri pun kerap masuk karena kualitasnya yang berdaya saing.
Menurut Irvan, proses pendidikan SDM asuransi menjadi salah satu penyebab 'kalahnya' daya saing kader-kader di industri itu dibandingkan industri lain. Dia menilai bahwa SDM asuransi kerap ditempatkan di satu pos dan tidak digodok untuk mendalami pos-pos lain.
"Berbeda dengan perbankan, orang dilatih dengan diputar ke semua bagian, sehingga pemahamannya komprehensif. Kalau di asuransi kerap ditemukan begitu duduk di situ, klaim misalnya, ya selamanya pegang klaim," ujar Irvan.
Salah satu Pendiri Komunitas Penulis Asuransi (Kupasi) itu pun menilai bahwa kondisi SDM tersebut turut memengaruhi pola pikir perusahaan-perusahaan asuransi yang kerap berorientasi pada penjualan, alih-alih laba. Hal tersebut menurutnya akan memberatkan perusahaan saat kondisi menjadi sulit.
"Itu terbukti dari combined ratio atau rasio biaya usaha ditambah klaim ditambah pemasaran yang selalu di atas 100 persen, itu menunjukkan mereka tidak efisien. Jor-joran komisi, klaim tinggi, sehingga operasional rugi, dapat untungnya dari investasi, dalam keadaan pasar jelek terjadilah seperti kasus Jiwasraya," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel