Investor Asing Masih Catatkan Aksi Jual, Ini Faktor Pengganjal Arus Modal Masuk

Bisnis.com,21 Agt 2020, 18:57 WIB
Penulis: Dwi Nicken Tari
Pialang memperhatikan Yield SUN Indonesia/Antara-Prasetyo Utomo

Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan moneter longgar dari Amerika Serikat yang diperkirakan masih berlangsung hingga tahun depan, seharusnya dapat menjadi angin segar bagi aset obligasi Indonesia. Kelebihan likuiditas pada era suku bunga rendah akan mendorong aliran dana global beralih ke aset yang menawarkan potensi imbal hasil tinggi, seperti obligasi Indonesia.

Akan tetapi, di tengah potensi banjir likuiditas global tersebut, ada faktor yang saat ini menyebabkan arus modal dari investor asing masih terganjal masuk ke pasar obligasi Tanah Air, yakni performa rupiah yang masih tertinggal dibandingkan dengan mata uang lain di negara pasar berkembang atau emerging market.

Sejak awal bulan (month-to-date), investor asing melakukan aksi jual atau net sell lagi senilai Rp6,83 triliun atau menghentikan tren inflow selama tiga bulan terakhir dalam SBN domestik yang dapat diperdagangkan.

Eastspring Indonesia dalam publikasi terbarunya menilai stabilitas nilai tukar rupiah menjadi salah satu faktor utama yang dicermati investor asing sebelum masuk ke pasar Indonesia.

“Penguatan rupiah terlihat masih tertinggal meskipun kami melihat peluang rupiah menguat ke depannya, di tengah biaya hedging yang cukup tinggi hingga pertengahan Mei lalu,” kata Tim Riset Eastspring Indonesia, seperti dikutip pada Jumat (21/8/2020).

Namun demikian, Eastspring Indonesia memperkirakan pasar obligasi Indonesia bisa tetap menguat hingga akhir tahun dengan catatan terjadi normalisasi kegiatan ekonomi secara global.

Kemudian, perbaikan sentimen risiko para investor pun terjadi sehingga arus modal terutama ke emerging markets akan masuk hingga mencapai level sebelum pandemi.

Senada, Pengamat Pasar Modal Priyanto Soedarsono juga menyebut pergerakan nilai tukar rupiah menjadi salah satu pertimbangan investor untuk masuk ke Indonesia.

“Rupiah [sempat] terdepresiasi 3,7 persen menjadi Rp14.795, ini terutama sangat berguna bagi investor asing untuk menentukan momentum untuk masuk ke Indonesia,” kata Priyanto.

Berdasarkan data Bloomberg, rupiah masih melemah 6,32 persen secara year-to-date (ytd) hingga 21 Agustus 2020 ke level Rp14.772. Selama sepekan terakhir, rupiah terdepresiasi 1,17 persen.

Sepanjang periode berjalan, rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk dibandingkan dengan mata uang negara Asia lainnya ketika mata uang negara lain berlomba-lomba mengambil kesempatan saat indeks dolar AS terus melemah.

Berdasarkan laporan Bloomberg Intelligence, investor akan terus mencermati bias sejauh mana pelemahan rupiah akan berlangsung dan dampak intervensi Bank Indonesia di pasar surat utang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Ropesta Sitorus
Terkini