Mengembalikan Keharuman Kayu Cendana Indonesia

Bisnis.com,24 Agt 2020, 17:57 WIB
Penulis: Fatkhul Maskur
Kayu Cendana. /Kementerian LHK

Bisnis.com, JAKARTA - Cendana (Santalum album Linn) atau East Indian Sandalwood dikenal sebagai komoditi mahal sejak berabad-abad silam. Di Indonesia, cendana yang dikenal sebagai the King of Plant Perfume ini tumbuh alami di kepulauan Nusa Tenggara Timur (NTT), serta daerah lain di Jawa, bahkan Papua.

Cendana merupakan pohon penghasil kayu cendana dan minyak cendana. Kayunya digunakan sebagai rempah-rempah, bahan dupa, aromaterapi, campuran parfum, hingga sangkur keris (warangka). Kayu yang baik bisa menyimpan aromanya selama berabad-abad. Di Sri Lanka, kayu ini digunakan untuk membalsam jenazah putri-putri raja sejak abad ke-9.

Di Indonesia, kayu ini banyak ditemukan di Nusa Tenggara Timur, khususnya di Pulau Timor, Flores, Sumba, Solor, Adonara, Lomblen, Pantar, Timor, Rote, dan Sabu. Cendana juga tumbuh di Pulau Jawa dan Papua.

Cendana ada dua macam. Cendana merah dan cendana putih. Cendana Merah banyak tumbuh di daerah Funan dan India, sedangkan Cendana Putih banyak tumbuh di Indonesia. Dari segi kualitas, keduanya berbeda. Cendana Merah relatif kurang harum dan kualitasnya kurang bagus sehingga tidak terlalu laris.

Tak mengherankan, cendana dari Indonesia menjadi buruan dunia. Berdasarkan data Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (B2P2BPTH), pada periode 1986-1992, pengapalan kayu cendana dari Nusa Tenggara Timur mencapai Rp2,5 miliar per tahun atau berkontribusi 40% terhadap pendapatan provinsi tersebut.

Pada periode 1991-1998 ekspor cendana dari NTT mengalami penurunan dan kontribusinya terhadap PAD juga menyusut menjadi hanya 12 persen-37 persen. Penurunan ekspor berlanjut hingga pada 1997 tidak ada ekspor lagi dari daerah ini.

Belakangan ekspor cendana dilakukan dari Kabupaten Merauke. Ekspor perdana kayu cendana Merauke dilakukan pada 2007 sebanyak 90 ton dengan tujuan pasar Taiwan. Saat itu, pemerintah memberikan kuota ekspor dari daerah ini sebanyak 1.500 ton per tahun.

Akan tetapi, eksploitasi berlebih, kebakaran hutan, keterbatasan penanaman, masalah sosial ekonomi, dan kepemilikan cendana telah menyebabkan populasi tanaman cendana terus mengalami penurunan.

"Upaya untuk mengembalikan kejayaan cendana di Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan pengembangannya di daerah-daerah lain seperti di Yogyakarta perlu dukungan dan sinergi dari berbagai pihak," kata Kepala Badan Litbang dan Inovasi-KLHK Agus Justianto pada Webinar Biotifor 2020 Seri 2 : Cendana bertajuk Tantangan dan Peluang Pengembangan Cendana Mendukung Hutan Rakyat dan Rehabilitasi Lahan, baru-baru ini.

Menurutnya, sinergisitas pemerintah, lembaga riset, perguruan tinggi, maupun pelaku usaha, dengan berbagi pengalaman dan pengetahuan sangat penting untuk percepatan pengelolaan dan pengembangan cendana yang pada gilirannya dapat berdampak positif dalam pengelolaan hutan rakyat dan rehabilitasi lahan.

Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPPBPTH) Nur Sumedi mengatakan pentingnya menyebarluaskan capaian hasil penelitian dan pengembangan atau litbang terkait dengan pemuliaan cendana.

Saat ini, B2P2BPTH telah melakukan penelitian cendana, terutama terkait dengan konservasi sumberdaya genetik, kandungan minyak, dan perbanyakan vegetatif.

Selain itu dibangun tegakan konservasi genetik di lokasi KHDTK Watusipat, Gunungkidul, DIY (sebagai areal sumberdaya genetik/ASDG) untuk mendukung upaya pemuliaan tanaman

“Konservasi sumberdaya genetik merupakan Program Konservasi SDG sejak 2001. Dilakukan koleksi materi genetik dari sebaran alam dan ras lahan, yaitu dari Pulau Timor, Pulau Sumba, Pulau Alor, Pulau Pantar, Pulau Rote, Pulau Flores, dan ras lahan DIY,” kata Liliek Haryjanto, peneliti pada B2P2BPTH.

Yeni Widyana Nurchahyani Ratnaningrum, akademisi Fakultas Kehutanan UGM, memaparkan strategi konservasi jenis langka cendana pada populasi dengan berbagai basis genetik, tingkat fragmentasi dan klonalitas di Indonesia.

Menurutnya, fokus strategi konservasi adalah mempertahankan proses-proses genetik dan reproduksi dalam setiap populasi.

“Fokus strategi konservasi juga dilakukan dengan strategi yang berbeda, sesuai dengan basis genetik, keragaman genetik, sistem perkawinan, tingkat fragmentasi dan klonalitas dari tiap populasi,” ujar Yeni.

Rudi Lismono, Kepala Bidang Pembinaan Dinas LHK NTT, mengatakan keharuman cendana perlu dikembalikan kembali dengan meningkatkan pengelolaan budidaya. Menurutnya, penanaman cendana di wilayahnya pada periode 2010-2018 mencapai 3.344.317 tanaman.

“Tiga alasan perlu mengembalikan harum cendana di Nusa Tenggara Timur, yaitu tanaman cendana memiliki keunggulan komparatif karena merupakan spesies endemik NTT dengan kualitas terbaik di dunia, mempunyai nilai ekonomi tinggi, perlu dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan masyarakat, dan mengembalikan peran cendana untuk berkontribusi terhadap PAD NTT,” ujar Rudi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Fatkhul Maskur
Terkini