Ada Relaksasi, Bank Mandiri Tetap Konservatif Bentuk Pencadangan

Bisnis.com,26 Agt 2020, 14:41 WIB
Penulis: Ni Putu Eka Wiratmini
Nasabah melakukan transaksi elektronik lewat ATM Bank Mandiri di Jakarta, Senin (1/10/2019). Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA -- PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. menganalisis ada sebanyak 40 persen debitur yang mendapatkan restrukturisasi berada dalam status medium risk dan high risk sehingga berisiko tidak bisa bangkit ketika relaksasi tersebut berakhir pada Maret 2021.

Emiten berkode BMRI tersebut telah merestrukturisasi kredit terdampak Covid-19 senilai Rp119,3 triliun dengan jumlah 545.692 debitur per 13 Agustus 2020 atau mencapai 15,8 persen dari total baki debet.

Porsi nilai restrukturisasi terbesar berada pada segmen SME dan mikro yakni senilai Rp32,6 triliun atau 34,6 persen total baki debet kredit di segmen ini. Selanjutnya adalah, retail loan Rp25 triliun atau 15,4 persen total baki debet segmen ritel, dan wholesale Rp61,7 triliun atau 12,4 persen total baki debet segmen korporasi.

Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin mengatakan perseroan bersikap konservatif dengan tetap membentuk biaya pencadangan meskipun POJK 11/2020 memungkinkan bank tidak membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) untuk debitur yang telah direstrukturisasi.

Bank Mandiri pun meningkatkan coverage ratio atau pembentukan CKPN atas kredit bermasalah menjadi 195,53 persen pada semester I/2020 atau naik 48,74 persen dari posisi semester I/2019.

"Kami sudah cadangkan sesuai PSAK 71 sejak awal tahun, sedangkan debitur yang kami restrukturisasi adalah debitur sehat yang terdampak pandemi. POJK 11 memperbolehkan bank tidak tambah CKPN, kami bersikap konservatif," katanya dalam public expose, Rabu (26/8/2020).

Siddik menerangkan BMRI telah melakukan modelling dengan membagi debitur yang mendapatkan restrukturisasi ke dalam tiga segmen.

Pertama, low risk yakni debitur restrukturisasi yang bisa bangkit setelah kebijakan tersebut berakhir pada Maret 2021. Porsi debitur ini mencapai 60 persen dari total yang direstrukturisasi.

Kedua, medium risk yakni debitur restrukturisasi yang memerlukan bantuan lagi dalam bentuk perpanjangan kebijakan pasca Maret 2021. Porsinya mencapai 30 persen dari total yang direstrukturisasi.

Ketiga, high risk yakni debitur restrukturisasi yang kemungkinan besar tidak bisa bangkit kembali dan akan menjadi kredit bermasalah setelah POJK 11 berakhir. Porsinya mencapai 10 persen dari total yang diresktrukturisai.

"Dari 40 persen debitur restrukturisasi sudah mulai kami cadangkan bertahap sampai Maret tahun depan sehingga kalau Maret tahun depan debitur downgrade ke NPL, kami sudah punya kredit provisi sehingga tidak akan berdampak signifikan," sebutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Sulistyo Rini
Terkini