Bisnis.com, JAKARTA — Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 mencatatkan penurunan berbagai indikator bisnis pada 2019, meskipun kerugiannya berkurang. Kondisi keuangan perusahaan asuransi itu menyebabkan pembayaran klaim nasabah terus tersendat.
Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, Bumiputera mencatatkan kerugian Rp48,9 miliar. Jumlah tersebut menurun hingga 97,54 persen secara year-on-year (yoy) dibandingkan dengan kerugian 2018, yang sebesar Rp1,99 triliun.
Meskipun begitu, perolehan premi asuransi berbentuk usaha bersama turun 10,67 persen secara yoy menjadi Rp2,99 triliun dari Rp3,35 triliun pada 2018. Klaim yang dibayarkan pun terpangkas hingga 32,15 persen secara tahunan menjadi Rp4,59 triliun sepanjang 2019, dari catatan tahun sebelumnya yang senilai Rp6,77 triliun.
Pada 2019, aset Bumiputera tercatat sebesar Rp9,97 triliun, menyusut 4,6 persen yoy dari posisi 2018, yang senilai Rp10,45 triliun. Nilai investasi perseroan pun merosot 21,66 persen secara tahunan dari Rp2,42 triliun menjadi Rp1,89 triliun.
Namun, kinerja investasi justru menunjukkan hasil sebaliknya. Hasil investasi sepanjang 2019 tercatat sebesar Rp80,5 miliar, tumbuh 4,66 persen yoy dari perolehan tahun sebelumnya, yang senilai Rp76,91 miliar.
Dari berbagai instrumen investasi, hanya obligasi dan Surat Berharga Negara (SBN) yang mencatatkan pertumbuhan, yakni sebesar 3,6 persen menjadi senilai Rp1 triliun, dari posisi 2018, yang sebesar Rp971,41 miliar. Sementara itu, instrumen-instrumen investasi lain mengalami penurunan kinerja.
Investasi di deposito tercatat anjlok hingga 69,52 persen secara tahunan dari Rp546,68 miliar menjadi hanya Rp166,61 miliar, sedangkan investasi di reksa dana merosot 24,63 persen yoy dari Rp459,62 miliar menjadi Rp346,64 miliar.
Investasi di saham juga tak luput dari penurunan kinerja, yakni terpangkas 14,92 persen secara yoy dari Rp443,21 miliar menjadi Rp377,09 miliar.
Kemelut kondisi keuangan Bumiputera membuat Risk Based Capital (RBC) perseroan terus membengkak dan jauh di bawah batas minimal yang ditetapkan regulator. Pada 2019, RBC Bumiputera tercatat –1.182,39 persen, makin terperosok dari posisi tahun sebelumnya yang sebesar –640,04 persen.
Utang klaim yang tak kunjung terbayarkan oleh Bumiputera membuat sejumlah perwakilan nasabah 'mengadu' kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (25/8/2020). Mereka menyampaikan keluh kesahnya di hadapan para anggota dewan Komisi XI beserta Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Anggota Dewan Komisioner merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Riswinandi menjelaskan Bumiputera memang sudah mengalami masalah keuangan sejak 1997. Meskipun begitu, dia menilai perkara Bumiputera harus dilihat dengan kacamata berbeda karena bentuk perusahaannya adalah mutual.
"Kami sudah sampaikan pemeriksaan kepada manajemen karena tidak ada pemegang saham [di perusahaan asuransi mutual], para pemegang polis itu diwakili oleh Badan Perwakilan Anggota [BPA], manajemen, dan direksi. Posisi harus dilakukan, manajemen dan BPA itu semua kembali sesuai anggaran dasar di perusahaan yang menjadi kiblat untuk menjalankan usahanya ini," papar Riswinandi dalam rapat tersebut.
Menurutnya, terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama memberikan kepastian bagi Bumiputera untuk menentukan arah dalam penyelesaian berbagai masalahnya. Oleh karena itu, Riswinandi menyatakan kebijakan perseroan harus mengacu ke aturan tersebut.
Bumiputera mengalami gagal bayar dalam 2 tahun terakhir. Pada awal 2020, utang klaimnya telah mencapai Rp6,3 triliun.
Pada pengujung tahun ini, jumlah tersebut diperkirakan melonjak menjadi Rp9,6 triliun. Prediksi itupun belum memperhitungkan dampak pandemi Covid-19.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel