Pro dan Kontra di Balik RUU Bank Indonesia, Kemunduran atau Kebutuhan?

Bisnis.com,31 Agt 2020, 20:50 WIB
Penulis: Hadijah Alaydrus
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan penjelasan pada jumpa pers terkait Rapat Dewan Gubernur (RDG) di Jakarta, Kamis (17/1). Bisnis/Nurul Hidayat


Bisnis.com, JAKARTA - Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) tengah membuat draf Revisi Undang-Undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI).

Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah pengajuan terkait dengan penghapusan Pasal 9 di dalam UU tersebut. Pasal tersebut menjelaskan bahwa pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI.

Selain itu, UU itu juga menegaskan bahwa BI juga wajib menolak atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka pelaksanaan tugasnya.

Dalam rencana UU baru tersebut, pasal tersebut dihapus dan digantikan dengan pasal 9a, b dan c. Dalam matrix persandingan antara UU lawas dan RUU amandemen BI, pemerintah justru menambahkan dewan moneter pada pasal 9a.

Dewan Moneter memimpin, mengkoordinasikan, dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan kebijakan umum Pemerintah di bidang perekonomian.

Dewan Moneter terdiri dari 5 anggota, yaitu Menteri Keuangan dan satu orang menteri yang membidangi perekonomian; Gubernur Bank Indonesia dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia; serta Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.

Dewan Moneter diketuai oleh Menteri Keuangan. Pasal baru ini memicu pro dan kontra.

Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengatakan ini adalah waktu yang tepat untuk Bank Indonesia yang selama ini menjunjung inflation targeting framework (ITF) untuk lebih relevan dengan mandat pemerintah, terutama terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja.

Saya setuju bahwa bank sentral yang independen adalah hal penting bagi untuk kerangka kerja ekonomi jangka panjang. Namun, masalah kebijakan moneter harus diutamakan dari independensi di saat krisis Covid-19 saat ini.

"Ketika sektor riil membutuhkan suku bunga rendah, dibandingkan aliran modal asing dan mata uang yang lebih kuat," ujar Satria, Senin (31/8/2020).

Menurutnya, reformasi yang dilakukan bank sentral terjadi secara global, tidak hanya di Indonesia. Ini terjadi akibat peningkatan keraguan atas kearifan ekonomi konvensional.

Sementara itu, ekonom Institut Kajian Strategis (IKS) Universitas Kebangsaan RI Eric Sugandi mengatakan dirinya sangat tidak setuju, terutama melihat pasal 9 dari UU nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI) yang menegaskan soal independensi BI.

"BI cukup prudent, jika independensinya dihilangkan. Itu ada pengaruhnya ke pasar finansial," kata Eric kepada Bisnis, Senin (31/8/2020).

Ini dapat memicu kekhawatiran pasar karena ditakutkan intervensi dari pemerintah akan mempengaruhi kebijakan moneter bank sentral, termasuk inflation targeting framework.

Jika bank sentral sewaktu-waktu diharuskan menginjeksi uang, investor pasti akan mengkhawatirkan real return-nya.

Selain itu, dia juga mempertanyakan nasib independensi BI ketika Dewan Moneter dapat mengarahkan kebijakan moneter bank sentral, sementara dewan tersebut dipimpin oleh Menteri Keuangan.

"Itu ke depan jadi sumber konflik, klo tidak ada kejelasan strukturnya," ujar Eric.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Hadijah Alaydrus
Terkini