Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Perusahaan Pialang Asuransi dan Reasuransi Indonesia (Apparindo) menyebutkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai.
Anggota Dewan Kehormatan Apparindo Kapler Marpaung menyebutkan setidaknya ada lima pekerjaan rumah yang belum dilakukan oleh OJK dan pemerintah terkait industri asuransi. Hal ini disampaikannya dalam Forum Diskusi Finansial virtual terkait Stabilitas Sektor Finansial dan dan Perppu Reformasi Keuangan yang digelar Bisnis Indonesia, Selasa (1/9/2020).
Pertama, Kapler menyoroti soal pembentukan Lembaga Penjaminan Polis Asuransi (LPPA) yang diamanatkan oleh UU nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian.
“Harus segera dibentuk LPPA. Ini bukan permintaan masyarakat, tetapi amanat Pasal 54 UU 40/2014. Disebutkan selambat-lambatnya 3 tahun sejak UU berlaku, LPPA sudah harus sudah berdiri, tetapi sampai sekarang tidak terbentuk,” katanya.
Kedua, Kapler menyebutkan masalah pembinaan industri perasuransian. Menurutnya, pembinaan yang dilakukan OJK harus diperbaiki melalui early warning system.
“Jangan hanya kepada perusahaan kecil saja yang terllalu ketat mengaudit, tetapi juga kepada perusahaan besar.”
Poin ketiga, Kapler mengungkapkan OJK juga memiliki PR terkait independensi para dewan komisaris dan pejabat OJK agar dapat mengawasi industri jasa keuangan secara objektif.
“Pak Wimboh dan Komisioner OJK yang lain, ada isu-isu di market, agar ke depannya jangan lagi ada pejabat atau pegawai OJK yang menjadi pelaku industri perasuransian. Karena kalau menjadi pelaku, maka pembinaan dan pengawasan lembaga jasa keuangan menjadi subjektif, gak bisa lagi objektif,” ungkapnya.
Keempat, dia juga menegaskan agar kasus-kasus asuransi yang merugikan masyarakat tertanggung segera diselesaikan.
Terakhir, OJK juga diminta menata distribusi pemasaran produk asuransi. Sebagai contoh, Kapler menyebutkan penjualan produk asuransi melalui channel perbankan masih kerap menuai konflik karena tidak adanya penataan terkait hak dan tanggungjawab asuransi dan perbankan sebagai penyalur.
“Sudah ada nasabah yang menuntut bank yang memasarkan produk asuransi, padahal bank tidak bertanggungjawab terhadap kerugian atas produk asuransi itu,” ujarnya.
Lebih lanjut, di masa pandemi ini, OJK juga diminta untuk lebih memperhatikan industri asuransi termasuk para pihak yang ada di dalamnya seperti pialang asuransi, pialang reasuransi, adjuster serta para agen yang terdampak pandemi.
Berbeda dengan industri perbankan yang mendapatkan banyak stimulus dari pemerintah, BI dan OJK, menurut Kapler, industri asuransi tidak banyak mendapatkan stimulus. Hal ini dikhawatirkan akan berdampak pada ketahanan industri tersebut di waktu yang akan datang.
“Mungkin industri enggan minta stimulus tambahan dari OJK. Tapi ke depan saya lihat RBC mungkin akan turun terus, solvabilitas dan likuiditas juga akan terganggu. Kalau preminya gak bisa diperbaiki, dan hasil investasi turun terus, maka likuiditas, RBC dan ekuitas asuransi bisa terganggu sehingga tidak bisa memenuhi tingkat minimal.”
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel