Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Indef Dradjad Wibobo menilai Perppu reformasi keuangan yang diajukan pemerintah sebagai langkah yang tidak logis.
Dradjad menilai langkah ini tidak jelas efektivitasnya dan dapat membahayakan stabilitas sistem keuangan. Ada 7 alasan mengapa Perppu reformasi sistem keuangan tidak logis.
Alasan pertama, tidak ada satu negarapun yang merombang sistem keuagannya di tengah krisis pandemi.
"Kemudian kalau Indonesia mau mengubah di tengah krisis, kita jadi negara yang aneh di dunia, di satu sisi kasus Covid-19 terus naik," ujar Drajad dalam Forum Diskusi Finansial Bisnis Indonesia, Selasa (1/9/2020).
Kedua, negara yang pertumbuhan ekonominya lebih anjlok atau lebih jelek dari Indo, mereka tidak melakukan perombakan. Ketiga, perombakan ini bukan praktek terbaik internasional (PTI).
"Karena di tengah pandemi, PTI adalah strategi ganda, mulai dari penanganan pandemi, penemuan vaksin, strategi kedua melakukan stimulus ekonomi masif, kalau di Indonesia, PEN."
Keempat, Perppu reform keuangan akan memberikan kesan bahwa pemerintah sedang bingung dan panik. Ini akan jelek efek berantainya.
"Alasan keempat memberikan kesan pemerintah bingung dan panik, semua hal ditabrak," ujarnya.
Kelima, independensi BI sangat penting. Semua negara maju yang demokratis, AS hingga Inggrui, tetap menjunjung independensi bank sentral.
"Di AS, presiden AS paling superpower tapi tidak berhak intervensi kebijakan The Fed," katanya.
Dradjad melihat Perppu yang menekan independensi otoritas moneter dan keuangan adalah PT sehingga mengembalikan Indonesia ke zaman jahiliyah. Keenam, langkah berpotensi menciptakan ditaktor moneter dan keuangan tanpa kontrol yang maksimal dari legislator dan aparat hukum.
Ketujuh, upaya mencegah krisis di tengah pandemi bukan Perppu reformasi keuangan yang diperlukan, tapi penguatan lembaga-lembaga KSSK, termasuk LPS dan perampingan penanganan bank bermasalah karena di UU LPS dan lainnya memungkinkan hal tersebut.
Menurut Dradjad, kondisi yang harus disoroti saat ini adalah penerimaan negara sejak 2005 yang tidak bisa memenuhi target, bukan permasalahan sektor moneter dan keuangan.
"Kita lihat banyak shortfall malah semakin besar dan negara tidak punya tabungan fiskal yang cukup," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel