Bisnis.com, JAKARTA - Sinyal itu sebenarnya datang sudah cukup lama, bahkan sejak dua wakil menteri badan usaha milik negara telah diisi oleh dua mantan direktur utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Kartika Wirjoatmodjo dan Budi Gunadi Sadikin adalah sosok dengan jejak rekam mengelola korporasi bonafid.
Ditambah dengan keyakinan Menteri BUMN Erick Thohir, kader-kader bank hasil merger 4 bank itu paling siap, terbuka lebar jalan diaspora Bank Mandiri menduduki pos strategis perusahaan pelat merah.
“Banyak yang bertanya kenapa banyak lulusan Bank Mandiri? Jadi dari 142 BUMN yang ada, Bank Mandiri masih menjadi talent pool terbaik. Karena itu Mandiri lagi, Mandiri lagi. Ini yang mengakui Bu Rini [Rini Soemarno, mantan menteri BUMN] juga,” ujar Erick dalam pertemuan dengan para Pemimpin Media Massa pada 10 Januari 2020.
Jadi, siapapun pengurus BUMN saat itu, termasuk perusahaan yang strategis dan mengelola aset besar pasti mahfum, ke mana kiranya angin berhembus. Banyak yang kecewa dan sakit hati? Tentu saja. Tetapi toh roda akan terus berputar, juga kekuasaan.
Dalam waktu singkat, kader-kader Bank Mandiri tersebar sebagai direksi di berbagai BUMN, tidak hanya bank, tetapi juga dipercaya mengurusi perusahaan listrik hingga kereta api. Bagaimana dengan bankir bank persero lain? Ada, tetapi tak sebanyak dan sestrategis posisi para kader Bank Mandiri.
Puncak dari diaspora Bank Mandiri ini terjadi Rabu (2/9/2020) ketika 5 bankirnya ditugaskan untuk mengurus PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., bank yang hampir seumur republik dan sempat menjadi bank sentral. Praktis, kini bankir Mandiri memimpin seluruh bank BUMN yang ada.
Royke Tumilaar/Bisnis-Arief Hermawan P
Selain BNI yang kini dipimpin Royke Tumilaar, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. telah terlebih dahulu dipimpin oleh Sunarso, mantan direktur Bank Mandiri yang sempat menjadi dirut PT Pegadaian (Persero). Pahala Mansury, setelah bertugas sebagai Dirut PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. dan Direktur Keuangan PT Pertamina (Persero), kini menjadi Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk.
Jalan diaspora Bank Mandiri untuk memimpin bank BUMN lainnya ini sebenarnya cukup berliku dan penuh drama. Sunarso, setelah lama diplot sebagai Wadirut BRI, sempat ke Pegadaian selama era Menteri BUMN Rini Soemarno, sebelum ditarik lagi di posisi Wadirut BRI, sekira enam bulan sebelum dipilih pemegang saham menggantikan Suprajarto.
Suprajarto, oleh Rini waktu itu digeser dari BRI untuk memimpin BTN, tetapi menolak. Insiden ini menimbulkan ketegangan karena dalam fatsun suksesi di BUMN, belum pernah ada pejabat eksekutif mengabaikan penugasan.
Presiden Joko Widodo bahkan sempat berkomentar bila pergantian itu ada tujuannya dan ia punya rencana khusus terhadap Suprajarto dan BTN. Namun, nasi telah menjadi bubur. Kejadian yang disebut presiden sebagai ‘miskomunikasi’ itu berlalu.
Kekosongan dirut di bank dengan fokus bisnis perumahan tersebut terjadi sehingga Kementerian BUMN mengangkat pelaksana tugas dirut, sebelum akhirnya menugaskan Pahala memimpin.
Di BNI, tanda-tanda diaspora Bank Mandiri akan berkuasa sebenarnya sudah terasa ketika pemegang saham menugaskan mantan Gubernur Bank Indonesia dan bekas Menteri Keuangan Agus Martowardojo sebagai Komisaris Utama. Pada kejadian tujuh bulan silam itu, posisi Dirut masih dipercayakan kepada orang dalam BNI, Herry Sidharta.
Namun, kasak-kusuk di kalangan eksekutif BNI cepat beredar, dan menyebut masuknya Agus sebagai ‘komut rasa dirut’. Sulit untuk menghilangkan dugaan bahwa suksesi di BNI yang begitu cepat ini karena keberadaan Agus.
Agus Martowardojo./Bloomberg-Dimas Ardian
Reputasi Agus sangat kuat sebagai sosok eksekutif perfeksionis setelah mampu mentransformasi Bank Mandiri menjadi lembaga keuangan modern dan layanan prima. Prestasi ini mengantarnya untuk merengkuh jabatan Menteri Keuangan (2010—2013) dan Gubernur Bank Indonesia (2013—2018)
Sosok Agus di Bank Mandiri juga sangat ikonik karena dia termasuk sedikit bankir yang mampu melakukan kaderisasi dengan baik. Di bank yang baru saja menggeser BRI sebagai peraih laba terbesar tersebut, ada lelucon, ‘Dirut Bank Mandiri adalah Agus Martowadojo, yang lain itu hanya penggantinya’.
Bisa dibilang, bankir-bankir yang kini menduduki posisi kunci di bank BUMN adalah kader-kader yang di-grooming Agus semasa ia menjadi Dirut Bank Mandiri selama enam tahun dari 2005—2010. Agus adalah eks Dirut Bank Exim, salah satu legasi merger Bank Mandiri.
Kendati tidak semua kader tersebut merupakan eksekutif karier, paling tidak mereka pernah bekerja di sana. Namun, apakah diaspora akan sukses membawa BNI, BRI, BTN ke puncak kejayaannya? Mari kita berhitung.
***
Keputusan Menteri Erick dalam menempatkan bankir Bank Mandiri di semua bank BUMN bisa dipahami dalam dua perspektif. Keputusan ini bisa menjadi pisau bermata dua jika tidak dilakukan secara hati-hati dan terukur, terlebih dalam situasi ekonomi yang terancam resesi akibat pandemi Covid-19.
Mata pisau pertama, krisis akan benar-benar menguji bankir sekelas Sunarso, Royke, Pahala, hingga Hery Gunardi, Pelaksana Tugas Dirut Bank Mandiri. Sunarso dalam beberapa kesempatan menyebut krisis saat ini baru merupakan ekor karena tekanan besar justru akan terjadi pada bulan-bulan berikutnya.
Pada kenyataanya, dalam enam bulan pertama tahun ini, kinerja bank BUMN telah tertekan hebat terlihat dari perlambatan ekspansi kredit, kualitas aset menurun, hingga laba bersih yang terkoreksi tajam.
Beberapa bankir menyebut, tekanan sebenarnya akan terasa pada awal 2021 dengan makin memburuknya kualitas kredit, dan tak bisa ditutupi dengan relaksasi yang memungkinkan kredit dianggap lancar, kendati pembayaran cicilan seret.
Pada situasi ini, sangat penting bagi bank BUMN melakukan konsolidasi sehingga memiliki bantalan yang kuat untuk bertahan. Rasanya, memang akan lebih mudah hal ini dilakukan di antara bank pemerintah dengan formasi sekarang, apalagi bila Kementerian BUMN menghendaki persatuan dalam arti merger maupun pembentukan sebuah bank induk.
Pengalaman sebelumnya, sulit sekali bagi bank milik pemerintah ini untuk konsolidasi. Anda tentu masih ingat bagaimana niat BNI pada 2004 gagal total ketika berusaha melakukan konsolidasi dengan BTN. Serikat pekerja menolak dan kekuatan politik ikut campur.
Gedung Kementerian BUMN/ANTARA FOTO-Aprillio Akbar
Mata pisau kedua adalah ketika jiwa korsa yang begitu kuat antarkader bank BUMN di luar Bank Mandiri bersatu untuk menentang keputusan pemegang saham atas dominasi bankir Bank Mandiri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kekuatan internal dan biasanya direpresentasikan oleh serikat karyawan menentang keputusan pengangkatan manajemen dari luar.
Tumbuhnya jiwa korsa itu bisa terjadi di mana saja, bisa di BRI, BNI, dan BTN. Sigit Pramono, Dirut BNI 2003—2008, yang juga alumnus Bank Mandiri, pernah mengalami ketika mendapatkan perlawanan dari eksekutif internalnya karena berusaha memperbaiki pengelolaan bank dengan cara merekrut eksekutif selevel kepala divisi dari eksternal.
Bagaimanapun, risiko bangkitnya perlawanan dari internal tersebut patut menjadi perhatian khusus Menteri Erick dan dua wakilnya untuk melakukan antisipasi yang terukur agar tak terjadi komplikasi lanjutan akibat suksesi. Apalagi, kuasa di BUMN itu biasanya hanya seumur rezim politik pemenang pemilu.
Inilah titik lemah dari pengelolaan BUMN sekarang, karena selain warna tarikan politik, juga terjadi distribusi kekuasaan melalui penempatan komisaris sehingga pengelolaan tidak pernah benar-benar berkelanjutan.
Baca Juga : Bank BUMN di Bawah Dekapan Bankir BMRI |
---|
Hal yang berbanding terbalik jika kita menyaksikan bagaimana perusahaan swasta dikelola sehingga kita bisa melihat seorang eksekutif bisa dipercaya pemegang saham hingga belasan tahun.
Sebut saja PT Bank Central Asia Tbk. yang begitu mulus melakukan suksesi dari era Djohan Emir Setijoso hingga Jahja Setiaatmadja. Keduanya menjadi begitu ikonik dan profesional di bank ini, kendati BCA berganti tiga pemegang saham pengendali dalam dua dasawarsa terakhir.
Hasil dari sekuel ‘semua orang Mandiri’ akan kita lihat dalam hitungan bulan ke depan apakah keputusan ini menghasilkan kekuatan super dalam mengadang krisis atau sebaliknya. Di atas kertas, bank BUMN yang kini menguasai 40 persen aset perbankan nasional adalah kekuatan strategisnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel