Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga Penjamin Polis atau LPP dinilai tidak akan bisa menyelesaikan berbagai masalah perasuransian yang sudah ada. Namun demikian lembaga itu dapat mencegah munculnya masalah-masalah lain di masa datang seperti gagal bayar.
Pengamat asuransi dan Mantan Komisaris Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 Irvan Rahardjo menjelasakan bahwa hingga saat ini pemerintah belum memenuhi amanat Undang-Undang (UU) 40/2014 tentang Perasuransian yang memerintahkan adanya LPP.
Ketiadaan LPP dinilai menjadi salah satu penyebab munculnya berbagai masalah perasuransian saat ini, selain faktor-faktor lain seperti regulasi dan pengawasan industri. Namun, Irvan menjelaskan bahwa keberadaan LPP pun tidak serta merta akan menyelesaiakn berbagai masalah yang ada.
"Keberadaan LPP tidak bisa menyelesaikan berbagai masalah asuransi yang ada saat ini. LPP hanya bisa mengganti gagal bayar asuransi yang belum terjadi, meskipun tidak berarti semua pelaku industri asuransi berpotensi gagal bayar," ujar Irvan kepada Bisnis, Minggu (6/9/2020).
Dia menjelaskan bahwa kondisi industri asuransi yang terlanjur menghadapi berbagai masalah ini akan turut memengaruhi proses pembentukan LPP. Menurut Irvan, banyaknya kasus gagal bayar asuransi dapat menyebabkan premi yang harus dibayarkan pelaku industri untuk memperoleh jaminan LPP semakin mahal.
Hal tersebut terjadi karena kasus-kasus gagal bayar yang sudah ada akan menjadi pertimbangan, terlebih saat ini terdapat perusahaan asuransi tertua yang mengalami gagal bayar dalam jumlah besar.
"Itu dapat menjadi cermin profil risiko yang harus dipetakan dalam pembentukan LPP. Namun, sejumlah pelaku industri tetap meunjukkan tata kelola dan kinerja yang baik," ujarnya.
Irvan menilai bahwa pembentukan LPP harus berjalan paralel atau beriringan dengan pembenahan berbagai masalah perasuransian. Hal tersebut penting dilakukan agar kepercayaan masyarakat terhadap industri tidak semakin tergerus, sehingga proteksi yang diberikan dapat terus bertambah.
Adapun, Irvan menyoroti kondisi perekonomian saat ini terkait dengan pembentukan lembaga tersebut. Irvan mengutip pernyataan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah baru-baru ini. Alamsyah menurutnya, pernah berujar bahwa pembentukan LPP akan membutuhkan dana sekitar Rp4 triliun, jumlah besar yang harus dikeluarkan pemerintah karena merupakan amanat UU.
"Jumlah yang tidak sedikit dan menjadi pertanyaan apakah pemerintah dalam kondisi keuangan negara saat ini mampu mendanai?" ujar Irvan.
Sebelumnya, Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2A Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ahmad Nasrullah menjelaskan bahwa pihaknya menjalin komunikasi bersama Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan terkait pembentukan LPP.
Rencana itu pun masuk ke dalam 19 Rancangan UU Program Legislasi Nasional Jangka Menengah Tahun 2020–2024 Kementerian Keuangan.
Menurut Nasrullah, pada praktiknya tidak semua perusahaan asuransi dapat menjadi anggota LPP dan menanggung besaran premi yang sama.
Oleh karena itu, penentuan kriteria nantinya merupakan win-win solution dari fungsi lembaga penjamin dan perusahaan asuransi yang memiliki kewajiban membayar premi kepada LPP, sesuai kondisi keuangan masing-masing.
Nasrullah menjelaskan bahwa terdapat beberapa kriteria yang telah menjadi pembahasan berbagai pihak. Salah satu kriteria utama adalah besaran risk based capital (RBC), meskipun saat ini belum diatur apakan akan mengacu pada ketentuan minimal 120 persen atau terdapat besaran lain.
"Bisa jadi disyaratkan nanti kalau RBC-nya di bawah treshold tertentu dia [perusahaan asuransi] enggak bisa masuk [menjadi anggota LPP], atau bisa masuk tapi mungkin preminya lebih besar. Itu terserah LPP bagaimana perhitungannya, tapi menurut OJK itu cukup fair," ujar Nasrullah belum lama ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel