Kinerja Terhambat Covid-19, Apa yang Harus Dilakukan Industri Asuransi Jiwa?

Bisnis.com,07 Sep 2020, 20:16 WIB
Penulis: Wibi Pangestu Pratama
Pekerja berjaga di Kantor Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Jakarta, Jumat (29/5/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Perolehan premi industri asuransi jiwa mengalami penurunan selama masa pandemi Covid-19 dan membuat industri masih mencatatkan kerugian. Apa yang harus dilakukan industri dalam kondisi tersebut?

Berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada kuartal II/2020, industri asuransi jiwa membukukan premi Rp79,4 triliun atau turun hingga 7,27 persen (year-on-year/yoy) dari premi kuartal II/2019 sebesar Rp85,6 triliun. Hingga kuartal II/2020 industri asuransi jiwa membayarkan klaim Rp35,4 triliun atau menurun 13,73 persen (yoy) dari klaim kuartal II/2019 senilai Rp41,08 triliun.

Adapun, pada paruh pertama tahun iniindustri mengalami kerugian hingga Rp898,9 miliar. Kerugiannya itu berkurang 89,6 persen (yoy) dari catatan kuartal II/2019 yang merugi Rp4,17 triliun.

OJK pun mencatat bahwa pada Juli 2020 industri asuransi jiwa memiliki RBC 502 persen, turun dari posisi awal tahun sebesar 789 persen. Kondisinya berbeda dengan industri asuransi umum yang pada Juli 2020 memiliki RBC 321 persen, turun dari posisi awal tahun sebesar 345 persen, penurunannya lebih sedikit dibandingkan dengan asuransi jiwa.

Dosen Program MM-Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Kapler A. Marpaung menilai bahwa industri harus menyiapkan sejumlah langkah untuk kembali mendongkrak kinerja. Langkah itu mencakup pengelolaan keuangan hingga strategi penjualan produk pada masa pandemi.

"Apa yang perlu dilakukan adalah manajemen cash harus benar-benar baik, menciptakan atau melakukan inovasi produk-produk baru yang benar-benar dibutuhkan masyarakat saat pandemi, jaga hubungan baik dengan klien, serta lakukan efisiensi biaya dengan ketat," ujar Kapler kepada Bisnis, Senin (7/9/2020).

Dia pun menilai bahwa industri asuransi perlu meminta kebijakan khusus kepada regulator terkait kondisi kesehatan keuangan, yakni tingkat rasio solvabilitas atau risk based capital (RBC). Saat ini, OJK mengatur bahwa perusahaan asuransi harus memiliki RBC di atas 120 persen.

"Perlu minta kebijakan-kebijakan khusus dari regulator, karena RBC individual asuransi saya perkirakan sudah ada yang di bawah 120 persen, walau rata-rata RBC masih terjaga di atas 120 persen," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Ropesta Sitorus
Terkini