Pakar : Kasus Jiwasraya dan Kasus Lainnya Bukti Ada Kekacauan di Industri Asuransi

Bisnis.com,08 Sep 2020, 12:22 WIB
Penulis: Puput Ady Sukarno
Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hexana Tri Sasongko (kiri) memberikan kesaksian bagi terdakwa Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat, dan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono pada sidang lanjutan kasus korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Rabu (1/7/2020). ANTARA

Bisnis.com, JAKARTA. Pengamat Hukum Bisnis dan Asuransi Universitas Airlangga, Budi Kagramanto menilai banyaknya kasus gagal bayar investasi di perusahaan asuransi jiwa menjadi bukti adanya kekacauan di industri asuransi nasional. 

Pasalnya, perusahaan asuransi yang seharusnya hanya menjamin jiwa pemegang polis, justru memberikan garansi imbal hasil pasti atau fixed return melalui produk asuransi berbalut investasi.

Dia mencontohkan dua perusahaan asuransi yang kini tengah menjadi sorotan publik, yakni Asuransi Jiwa Kresna Life dan Asuransi Jiwasraya. Dua perusahaan tersebut sama-sama menjanjikan imbal hasil tinggi kepada para pemegang polis yang membeli produknya. 

Kresna Life misalnya, menjanjikan return sekitar 9% untuk dua produknya yaitu Kresna Link Investa (K-LITA) dan Protecto Investa Kresna (PIK). Sementara Asuransi Jiwasraya menjamin imbal hasil antara 9%-13% melalui produk JS Saving Plan. 

Budi menjelaskan, kehadiran produk tersebut sejatinya ditujukan untuk menarik masyarakat membeli produk asuransi. Namun, produk tersebut justru disalahgunakan, karena dibumbui dengan janji imbal hasil pasti dengan return tinggi. 

Lantas untuk memenuhi janjinya itu banyak perusahaan asuransi yang kemudian menempatkan dana nasabahnya di instrumen saham yang sejatinya berisiko tinggi dan fluktuatif, karena tidak memiliki garansi atas imbal hasilnya.

Adapun dalam kasus Jiwasraya hampir semua penempatan dana perusahaan, baik investasi secara langsung maupun melalui manajer investasi (MI), dialokasikan ke instrumen saham-saham tertentu di Bursa Efek Indonesia.

“Bunga yang dijanjikan tidak masuk akal, tinggi sekali, bisa memberatkan perusahaan asuransi. Sekarang kejadian juga kalau perusahaan asuransi itu gagal bayar karena kondisi bursa anjlok,” kata Budi, Selasa (8/9/2020).

Budi juga mempertanyakan peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mengawasi dan memeriksa produk-produk investasi yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi. 

“Kenapa OJK memperbolehkan asuransi memberikan return tinggi dan fixed, bukankah itu melanggar aturan. OJK seharusnya sudah prediksi ini membahayakan dan bakal jadi bom waktu bagi perusahaan asuransi. Terbukti sekarang bomnya meledak,” tegas Budi.

Apalagi, Budi menambahkan, banyak perusahaan asuransi yang tidak memberikan informasi secara benar kepada calon nasabah. Padahal beberapa regulasi mewajibkan perusahaan memberikan informasi secara detail. 

Contohnya Undang-undang (UU) Perlindungan Konsumen, hingga Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). 

"Pasal 251 KUHD secara jelas ditujukan untuk perusahaan asuransi wajib memberikan informasi yang benar kepada tertanggung atau pemegang polis. Jangan yang disampaikan hanya keuntungan saja,” tambahnya.

Kodrat Muis, konsultan dan trainer perbankan, manajemen dan investasi menilai imbal hasil pasti tidak dikenal dalam dunia asuransi. 

Hal itu, kata dia, sudah menyalahi Undang-undang Nomor 40/2014 tentang perasuransian dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 27 Tahun 2018 tentang kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan reasuransi, pembaruan dari POJK Nomor 71 Tahun 2014.

"Kalau ada produk asuransi yang rider-nya, atau pendamping produk itu dikemas dalam bentuk saving, itu sudah menyalahi undang-undang, karena tidak diatur, yang diatur hanya dalam bentuk investasi [unit link]," kata Kodrat saat menjadi saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (7/9/2020). 

Kodrat Muis dihadirkan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Agung terkait dengan kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang PT Asuransi Jiwasraya (Persero), di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (7/9). 

Kodrat mengatakan jika dalam dunia asuransi tidak dikenal istilah ‘saving plan’, dan menjadi salah satu penyebab utama ambruknya perusahaan asuransi pelat merah itu.

JS Saving Plan yang menjadi produk andalan Jiwasraya, menurut Kodrat memiliki imbal hasil pasti. Sementara berdasarka perundang-undangan produk asuransi yang memadukan produk investasi, yakni unit link. 

Menurut dia, hal ini sudah menyalahi Undang-undang Nomor 40/2014 tentang perasuransian dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.27 2018 tentang kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan reasuransi, pembaruan dari POJK No.71/2014.

"Sepengetahuan saya, saving plan itu produk perbankan. Kalau ada produk asuransi yang pendamping produk itu dikemas dalam bentuk saving, itu sudah menyalahi undang-undang, karena tidak diatur, yang diatur hanya dalam bentuk investasi [unit link]," kata Kodrat menjawab pertanyaan JPU.

"Artinya Saving Plan bukan merupakan produk asuransi berdasarkan UU tersebut? tanya JPU. Kodrat pun membenarkan pertanyaan tersebut.

Saksi lain, Batara Maju Simatupang yang merupakan Dosen STIE Indonesia Banking School mengatakan, kesalahan lain dari Jiwasraya adalah dalam hal pembelian saham. 

Menurutnya, dalam hal ini Jiwasraya melanggar ketentuan dalam pemilihan saham atau surat untang berjangka, lantaran perusahaan pelat merah tersebut seharusnya mencari minimun grade A.

“(Jiwasraya) ini milik pemerintah itu sudah jelas jelas dinyatakan bahwa hanya diperbolehkan untuk placement minimum di A. berarti kalau dibawah A ga boleh. Apalagi triple B atau double B,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Kahfi
Terkini