Ekspor Agustus Terkontraksi, Ini Barang dengan Kenaikan dan Penurunan Terbesar

Bisnis.com,15 Sep 2020, 12:32 WIB
Penulis: Jaffry Prabu Prakoso
Foto aerial pelabuhan peti kemas Koja di Jakarta. (25/12/2019). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kinerja ekspor Agustus 2020 mencapai US$13,07 miliar, turun 8,36 persen secara year-on-year (yoy) dari periode yang sama tahun sebelumnya senilai US$14,26 miliar.

Sementara itu, secara bulanan, realisasi ekspor pada Agustus 2020 juga menunjukkan tren penurunan, yakni 4,62 persen dari posisi Juli 2020, yang senilai US$13,70 miliar.

Kepala BPS Suhariyanto menyebutkan komoditas ekspor yang mengalami peningkatan terbesar secara bulanan yaitu bijih, terak, dan abu logam dengan peningkatan senilai US$102,2 juta.

"Tujuan utama ekspor ini ke China, Jepang, dan Jerman," katanya dalam konferensi pers via daring, Selasa (15/9/2020).

Kemudian, disusul oleh barang dari besi dan baja dengan kenaikan US$67,5 juta dengan tujuan utamanya ke Inggris dan Amerika Serikat. Komoditas kendaraan dan bagiannya mengalami kenaikan senilai US$39,4 juta dengan tujuan ke Filipina dan Thailand.

Lalu timah dan barang dari timah dengan peningkatan senilai US$33,9 juta dan garam, belerang, batu, dan semen dengan kenaikan US$12,9 juta.

Di sisi lain, penurunan ekspor paling besar dicatatkan oleh komoditas logam mulia, perhiasan/permata senilai US$169,6 juta, yang banyak dikirim ke Swiss, Singapura, dan Jepang.

Kemudian disusul oleh lemak dan minyak hewan/nabati senilai US$160,2 juta ke India, China, dan Jepang. Lalu, bahan bakar mineral turun senilai US$144,4 juta.

"Alas kaki juga turun US$63,3 juta dan besi baja turun US$26,6 juta," kata Suhariyanto.

Secara kumulatif, ekspor Indonesia pada periode Januari-Agustus 2020 tercatat senilai US$103,16 miliar atau turun 6,51 persen secara tahunan. Share ekspor nonmigas terbesar yaitu lemak dan minyak hewan/nabati sebesar 12,40 persen dengan nilai US$12,14 miliar dan bahan bakar energi sebesar 11,99 persen senilai US$11,74 miliar.

Suhariyanto menyebutkan penurunan tersebut disebabkan oleh permintaan negara lain yang masih lemah dan aktivitas ekonomi belum berjalan dengan normal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Sulistyo Rini
Terkini