Bisnis.com, JAKARTA -- Lembaga keuangan dinilai telah bekerja dengan baik dalam menghadapi sejumlah krisis. Hanya saja, revisi regulasi yang mengatur lembaga tersebut tetap perlu dilakukan.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan Subchi mengatakan kewenangan lembaga keuangan seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan sudah on the track dalam mengatasi permasalahan ekonomi saat ini. Hanya saja, diakuinya, ada beberapa celah yang mendorong perlu adanya perbaikan pengaturan agar ketiga lembaga tersebut dapat berfungsi optimal.
Pertama, adanya skema bantuan likuiditas jangka pendek dari Bank Indonesia untuk membantu bank yang mengalami krisis likuiditas dinilai terlalu rumit. Setidaknya, bank yang membutuhkan bantuan likuditas perlu memenuhi 12 item persyaratan.
Pemerintah pun, lanjutnya, menilai dengan banyaknya persyaratan tersebut membuat kebijakan ini jadi berjalan lamban. Hingga akhirnya, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dimungkinkan untuk membantu likuditas bank yang sedang mengalami permasalahan.
Fathan mencontohkan permasalahan penyelamatan Bank Bukopin yang membutuhkan dana Rp5 triliun mengalami perdebatan yang cukup alot.
"Sebetulnya bukan problem kelembagaan, kelembagaan on track, kalau kritik ada beberapa sektor keuangan yang alami maladministrasi, malfunction, jadi perlu ada penguatan seperti Bank Indonesia ubah syarat pinjaman jangka pendek," katanya dalam webinar, Selasa (15/9/2020).
Menurutnya, daripada membuat peraturan pemerintah pengganti undang undang (Perppu) untuk melakukan reformasi sistem keuangan, lebih tepat melahirkan omnibus law yang akan merangkum semua permasalahan OJK, LPS, dan BI. Hanya saja, apabila membentuk omnibus law, akan terkesan berkejaran dengan waktu di tengah kondisi krisis pandemi.
"Pasar keuangan harus kita rangkum dalam omnibus law sektor keuangan, cuma waktu situasi pandemi pemerintah ambil jalan Perppu, tetapi tidak ada perubahan sektor keuangan cuma penguatan," katanya.
Dia mencontohkan, pada Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI) yang fungsinya ditingkatkan supaya bisa memberikan atensi dan penguatan-penguatan di Bank Indonesia. Begitu juga dengan OJK, yang diperlukan adanya badan pengawas yang bisa melakukan supervisi dan guidance.
Selain itu, regulasi tersebut juga sedang membahas mengenai pendanaan OJK. Saat ini pendanaan OJK berasal dari pungutan yang dilakukan ke industri jasa keuangan. Semakin besar industri jasa keuangan, maka nilai pungutan juga semakin tinggi.
Pendanaan tersebut dinilai tidak fair karena di satu sisi OJK memiliki fix cost yang tetap. Di sisi lain, pendanaan OJK yang berasal dari pungutan industri jasa keuangan dinilai tepat karena tidak bergantung dengan negara.
"Ini masih ada dua kutub bagaimana cari solusi pendanaan OJK. Sampai hari ini OJK masih menggantungkan iuran pada industri keuangan, di BRI bisa sampai Rp700 miliar, kalau industri besar iuran besar lagi, ngapain besarkan OJK, fix cost OJK tetap," kataya.
Selain itu, Perppu juga membahas mengenai perluasan fungsi LPS yang tidak akan mengatasi masalah bank gagal tetap juga dapat melakukan pencegahan LPS bisa masuk menyelamatkan bank yang memiliki indikasi masalah maupun dalam pengawasan intensif.
"Kita berikan jaminan ataupun informasi ke pasar modal dan investor tidak ada perubahan kelembagaan, BI sesuai dengan fungsi, OJK sesuai fungsinya, ada penguatan-penguatan seperti BI ubah syarat pinjaman jangka pendek," sebutnya.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan penguatan kelembagaan memang lebih diperlukan alih-alih mengubah fungsinya. Seperti misalnya OJK yang pertama kali dibentuk karena alasan perlunya pengawasan terintegrasi.
Saat ini, lanjutnya, jumlah konglomerasi keuangan terus meningkat sehingga pengawasan terintegrasi memang perlu dilakukan OJK. Apalagi, pengawasan terhadap sektor jasa keuangan yang saat ini telah berkembang tidak bisa dilakukan secara terpisah.
"Kalau seandainya diperlukan penguatan OJK dalam rangka mewujudkan cita-cita waktu OJK pertama kalau dibentuk, dengan mengembalikan pengawsan dari OJK ke BI justru akan menghianati apa yang sudah dicita-citakan waktu bentuk pengawasan terintegrasi," sebutnya.
Senada, Ekonom senior Indef sekaligus Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani mengatakan peraturan lembaga keuangan yang saat ini ada sudah cukup baik. Daripada mengubah fungsinya, penguatan kelembagaan dinilai justru lebih diperlukan.
Apalagi, krisis ekonomi merupakan hal yang tidak mungkin dihindari. Setelah adanya krisis 2008, pada 2012 muncul lagi krisis pencetakan uang, kemudian krisis utang Eropa. Setelah pandemi Covid-19 berlalu, dipastikan akan muncul krisis baru sehingga daripada mengubah kelembagaan, penguatan menjadi hal terpenting yang harus dilakukan.
Selain itu, perlu juga dilakukan market conduct atau pengawasan perilaku jasa keuangan. Pemerintah harus belajar dari kasus-kasus di sektor jasa keuangan yang terjadi selama ini sehingga dapat memberikan solusi yang tepat. "Kalau kasus dibiarin aja, banyak meledak jadi bahaya, belajar mana yang harus diperbaiki, jangan salah obat," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel