Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berharap pemerintah mempertimbangkan tiga hal sebelum mengalihkan tugas pengawasan bank ke Bank Indonesia.
Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik Anto Prabowo mengatakan RUU BI merupakan produk politik. Namun, dia berharap perintah tetap mempertimbangan beberapa hal sebelum mengesahkan usulan Badan Legislatif tersebut.
“Menurut hemat saya 3 faktor yang perlu dipertimbangkan penyusun legislasi DPR dan Pemerintah,” katanya kepada Bisnis, Sabtu (19/9/2020).
Pertama, tingkat kecepatan penanganan kesehatan tidak terhindarkan dan akan mulai berdampak kepada sektor keuangan.
OJK melalui kebijakan berusaha menopang sektor jasa keuangan, hanya saja tingkat efektifitasnya memiliki dimensi waktu dan keterbatasan sehingga memerlukan kebijakan lanjutan dari kementerian dan lembaga lain.
Kedua, untuk kebijakan lanjutan tersebut harus ada penguatan kelembagaan termasuk koordinasi dan kewenangan BI-OJK-LPS. Hal ini fundamental agar masing-masing lembaga lebih dapat menghasilkan kebijakan dan instrumen operasional untuk menyangga sektor jasa keuangan agar lebih kuat.
Ketiga, penguatan itu termasuk dari perangkat Undang-undang di BI-OJK-LPS perlu diharmonisasi, sehingga bingkai independensi masing-masing lembaga memiliki tujuan dan difokuskan juga untuk mendukung kebijakan ekonomi pemerintah.
Adapun, pengembalian fungsi pengawasan bank yang saat ini ada di Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank Indonesia (BI) akan dilakukan secara bertahap dan dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2023.
Rencana ini dimuat dalam dokumen yang diterima Bisnis tentang Rancangan Undang-undang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menegaskan fungsi pengawasan bank dari Otoritas Jasa Keuangan akan dialihkan kepada Bank Indonesia.
“Proses pengalihan kembali fungsi pengawasan bank dari Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank Indonesia dilakukan secara bertahap setelah dipenuhinya syarat-syarat yang meliputi infrastruktur, anggaran, personalia, struktur organisasi, sistem informasi, sistem dokumentasi, dan berbagai peraturan pelaksanaan berupa perangkat hukum serta dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat,” mengutip ayat 3 Pasal 34 dalam rancangan undang-undang tersebut, Jumat (18/9/2020).
Adapun, draf RUU itu menyebutkan bahwa UU 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU 3/2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu diubah.
Perubahan juga mempertimbangkan guna mewujudkan Bank Indonesia sebagai bank sentral sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Oleh karena itu perlu dilakukan penataan kembali terhadap bank sentral agar mampu menetapkan kebijakan moneter secara menyeluruh dan teroordinasi yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengatasi situasi darurat yang dapat membahayakan ekonomi negara, dan menjawab tantangan perekonomian ke depan dalam menghadapi globalisasi ekonomi.
Menurut RUU tersebut, saat ini kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia masih berfokus pada stabilitas nilai tukar dan harga saja. Hal ini belum cukup kuat untuk mendorong perekonomian, menciptakan lapangan kerja, dan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel