Tanpa Asuransi, Pemerintah Tanggung Kerugian Rp19,7 Triliun Kerusakan Aset Negara

Bisnis.com,22 Sep 2020, 13:08 WIB
Penulis: Wibi Pangestu Pratama
Karyawan melintasi logo-logo perusahaan asuransi di Kantor Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Jakarta, Selasa (11/02/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah mencatatkan kekurangan pembiayaan hingga Rp19,75 triliun untuk melakukan pemulihan kerusakan aset akibat bencana alam, hal tersebut terjadi karena dalam dua dekade terakhir belum terdapat asuransi barang milik negara.

Direktur Barang Milik Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Encep Sudarwan menjelaskan bahwa dalam kurun 2000–2016, Indonesia mencatatkan rata-rata kerugian per tahun akibat bencana alam senilai Rp22,8 triliun.

Tingginya risiko bencana di Indonesia membuat sejumlah aset kerap mengalami kerusakan karena berbagai faktor. Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, penyebab kerusakan terbesar yakni karena gempa bumi, dengan rata-rata nilai kerusakan Rp7,56 triliun per tahunnya.

Setelah itu, risiko lainnya diakibatkan oleh kebakaran dengan rata-rata kerugian per tahun Rp5,32 triliun, banjir Rp4,64 triliun, tsunami Rp2,71 triliun, longsor Rp1,26 triliun, letusan gunung berapi Rp1,25 triliun, cuaca ekstrem sekitar Rp50 miliar, angin ribut sekitar Rp20 miliar, dan akibat kekeringan sekitar Rp10 miliar.

Dalam kondisi tersebut, biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi kerugian itu belum mencukupi, bahkan jauh dari nilai kerusakannya. Pada 2005–2017, rata-rata dana kontingensi untuk pemulihan aset hanya senilai Rp3,1 triliun per tahunnya atau terdapat selisih Rp19,75 triliun dari total kerusakan.

"Gap-nya 78 persen, begitu besar gap yang terjadi, karena [Indonesia] rentan bencana tadi. Bagaimana mengatasi gap ini? Kalau dengan skema biasa-biasa saja tidak tertangani, dan selalu ada proses anggaran yang perlu waktu," ujar Encep pada Selasa (22/9/2020).

Dia menjelaskan bahwa pengasuransian barang milik negara menjadi salah satu solusi untuk mengatasi selisih biaya pemulihan aset tersebut. Proteksi itu pun baru terealisasi pada 2019, setelah Kementerian Keuangan meneken kontrak polis dengan Konsorsium Asuransi Barang Milik Negara (BMN).

Menurut Encep, sebelumnya pemerintah menggunakan dana kontinjensi bencana alam untuk melakukan pemulihan dalam kondisi darurat dan diteruskan melalui penganggaran atau realokasi anggaran pasca bencana. Namun, cara itu tetap menyisakan selisih pembiayaan dan waktu realisasi yang relatif lama.

Melalui skema asuransi BMN, pemerintah melakukan proteksi terhadap aset-aset dengan risiko tinggi agar dampak kerugiannya dapat lebih terkendali. Selain itu, pemulihan aset pun dapat dilakukan dengan lebih cepat karena proses klaim lebih ringkas dibandingkan penganggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Ropesta Sitorus
Terkini