Bisnis.com, JAKARTA — Aksi merger dan akuisisi perusahaan asuransi dinilai tidak akan terkendala oleh kondisi perekonomian Indonesia yang mengalami resesi. Industri asuransi pun dinilai masih diminati oleh investor.
Praktisi industri asuransi Benny Waworuntu menjelaskan bahwa kondisi resesi dan pandemi Covid-19 akan memengaruhi kinerja industri asuransi seiring menurunnya aktivitas bisnis. Hal tersebut kemudian dapat menjadi lampu kuning bagi perusahaan yang memiliki kendala bisnis.
Menurut Benny, kondisi resesi tidak akan menyurutkan langkah industri dalam melakukan merger atau akuisisi. Hal tersebut terjadi karena hukum dasar ekonomi tetap berlaku, baik bagi perusahaan yang membutuhkan dana maupun investor yang sedang mencari 'target' perusahaan asuransi.
"Kondisinya diibaratkan properti, kalau dia [perusahaan asuransi] butuh uang maka dia akan jual cepat sehingga murah, yang mencari [investor] juga begitu, mencari yang akan menjual dengan harga murah," ujar Benny kepada Bisnis, Selasa (22/9/2020).
Menurutnya, dalam kondisi resesi ini perusahaan asuransi akan fokus dalam menjaga tanggung jawabnya kepada nasabah, sehingga perusahaan-perusahaan yang memiliki masalah keuangan akan mengambil langkah-langkah penyehatan atau penyelamatan, salah satunya melalui aksi korporasi.
Benny menjelaskan bahwa terdapat dua penyebab aksi merger dan akuisisi, yakni faktor regulatory driven dan market driven. Dalam faktor pertama, aksi korporasi terjadi karena didasari kebijakan, seperti adanya kewajiban spinoff unit usaha syariah dan terbitnya peraturan khusus dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Otoritas telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) 40/2020 tentang Perintah Tertulis untuk Penanganan Permasalahan Lembaga Jasa Keuangan Non Bank. Aturan itu memberikan otoritas ruang untuk melakukan penggabungan perusahaan dengan prospek yang baik.
Menurut Benny, faktor market driven berarti aksi korporasi terjadi karena kondisi bisnis perusahaan atau adanya upaya transaksi dari investor. Dalam kondisi ini terdapat dua sisi yang memengaruhi terjadinya aksi merger atau akuisisi, yakni push factor dan pull factor.
Dia menjabarkan bahwa push factor biasanya terjadi karena kondisi keuangan perusahaan kurang menguntungkan, sehingga terdapat dorongan investor untuk melakukan aksi korporasi, seperti dengan menjual perusahaannya dengan membuka peluang akuisisi.
Hal tersebut kerap terjadi kepada investor yang belum memiliki kesadaran penuh bahwa industri asuransi merupakan bisnis jangka panjang. Menurut Benny, kadang terdapat investor yang beranggapan bahwa break event point asuransi harus terjadi dalam waktu relatif singkat.
"Dari sisi pull factor, bisa dicek beberapa transaksi akuisisi perusahaan asuransi di Indonesia, itu ada yang empat, tujuh, sampai empat belas kali nilai buku. Itu menimbulkan appetite bagi investor lokal untuk melakukan aksi, mahal sedikit ya dijual," ujar Benny.
Benny yang pernah terlibat dan memimpin beberapa proses merger dan akuisisi perusahaan asuransi menilai bahwa terdapat hasrat tersendiri dari investor-investor negara maju untuk masuk ke bisnis asuransi di Indonesia. Hal tersebut karena kinerja industri dalam beberapa tahun tercatat positif dan penetrasi asuransi pun masih rendah.
"Kalau boleh jujur sebenarnya banyak perusahaan asuransi yang saat ini statusnya ready for sale, tetapi masalahnya adalah siapa yang berani membeli. Faktor market given ini menarik," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel