Bisnis.com, JAKARTA — Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah atau Pilkada di tengah pandemi virus corona dinilai tak sesuai dengan prinsip manajemen risiko jaminan sosial, baik dari sisi kesehatan maupun ketenagakerjaan.
Pengamat asuransi dan Mantan Direktur Jamsostek Hotbonar Sinaga menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah harus menunda penyelenggaran Pilkada seiring penyebaran Covid-19 yang masih belum terkendali, karena dapat bertentangan dengan prinsip jaminan sosial.
Menurutnya, salah satu prinsip jaminan sosial yakni penerapan manajemen risiko dalam setiap aktivitas sehari-hari, baik kegiatan bisnis, sosial, kemasyarakatan, politik, dan sebagainya bertujuan untuk memastikan ketidakpastian. Upaya menghindari risiko adalah salah satu bentuk dari 'memastikan ketidakpastian' itu.
Menurut Hotbonar, salah satu kegiatan yang wajib dimitigasi risikonya adalah penyelenggaraan Pilkada karena melibatkan seluruh masyarakat Indonesia. Mitigasi risiko wajib dilakukan dalam kondisi normal, terlebih dalam kondisi pandemi yang masih belum teratasi hingga saat ini.
"Perlakuan atau risk treatment yang paling simple untuk diterapkan adalah menghindari risiko tersebut atau risk avoidance, terutama untuk kegiatan yang kompleks dan dipenuhi ketidakpastian seperti Pilkada. Lazimnya, bila kita menghindari risiko, akan timbul risiko lain," ujar Hotbonar kepada Bisnis, Rabu (23/9/2020).
Dia menjelaskan bahwa salah satu dasar pertimbangan untuk menghindari suatu risiko adalah melalui analisa risiko yang memperhitungkan probabilita keterjadian suatu risiko dan akibat dari risiko yang ditimbulkan, atau risk probability versus risk severity.
"Melalui pendekatan yang cukup simple ini pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] dapat menentukan pilihan yang paling aman untuk rakyat dengan menunda Pilkada, karena kesehatan rakyatlah yang wajib kita utamakan," ujar praktisi manajemen risiko dan Mantan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) tersebut.
Hotbonar pun menilai bahwa pemerintah harus berkaca dari catatan kelam penyelenggaraan pemilihan umum serentak pada 2019, di mana terdapat sekitar 894 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dan sekitar 5.175 petugas jatuh sakit.
Menurutnya, jumlah korban yang muncul dapat lebih banyak jika Pilkada dilangsungkan di tengah pandemi saat ini. Bahkan, korban yang berisiko berjatuhan bukan hanya dari petugas KPPS, melainkan juga masyarakat yang mendatangi tempat pemungutan suara (TPS).
"Terlalu berisiko jika [Pilkada] tetap dilaksanakan saat ini. Semestinya potensi keramaian dan tempat orang berkumpul [seperti di TPS] dihindari," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel