Bisnis.com, JAKARTA - Rencana pengembalian fungsi pengawasan perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kepada Bank Indonesia (BI) masih bergulir. Pro dan kontra akan rencana tersebut pun masih dibahas hingga saat ini.
Adapun, pengembalian fungsi pengawasan bank miliki OJK ke BI akan dilakukan secara bertahap dan dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2023.
Rencana ini dimuat dalam dokumen yang diterima Bisnis tentang Rancangan Undang-undang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menegaskan fungsi pengawasan bank yang saat ini dimiliki OJK akan dialihkan kepada BI.
Mengutip ayat 3 Pasal 34 dalam rancangan undang-undang tersebut, proses pengalihan kembali fungsi pengawasan bank dari Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank Indonesia dilakukan secara bertahap setelah dipenuhinya syarat-syarat yang meliputi infrastruktur, anggaran, personalia, struktur organisasi, sistem informasi, sistem dokumentasi, dan berbagai peraturan pelaksanaan berupa perangkat hukum serta dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
RUU ini menyebutkan regulasi lama yakni UU Bank Indonesia sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu diubah. Perubahan juga mempertimbangkan guna mewujudkan Bank Indonesia sebagai bank sentral sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam keterangan resminya, OJK mengaku akan konsisten memperkuat pengawasan terintegrasi untuk dapat mendeteksi lebih dini potensi risiko terhadap stabilitas sektor jasa keuangan dan juga mendukung terlaksananya program PEN secara menyeluruh guna mengakselerasi pemulihan ekonomi. OJK memandang rencana perpindahan fungsi pengawasan perbankan ke Bank Indonesia merupakan ranah politik. Hingga saat ini, Otoritas Jasa Keuangan mengaku masih melakukan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang sama.
Staf Ahli Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ryan Kiryanto mengatakan pihaknya masih berupaya melkukan percepatan pemulihan ekonomi nasional melalui sejumlah relaksasi seperti yang tertuang dalam POJK 11/2020 maupun POJK 14/2020. Kemudahan yang didapat sektor jasa keuangan maupun sektor riil merupakan wujud nyata OJK dalam konteks pengawasan terintrgrasi dan memainkan peran nyata dalam stabilitas sistem keuangan.
"Terkait perppu mengenai BI atau LPS, kami memandang adalah domain politik, jadi kita tidak masuk ke ranah sana, kita masuk zona pengawasan terintegrasi," katanya.
Ryan menekankan pengawasan yang dilakukan tidak hanya pada ranah individuak sektor melainkan konglomersasi. Setidaknya data terakhir terdapat 48 konglomerasi keuangan atau group yang tidak hanya bergerak di bidang perbankan, tetapi juga asuransi, perusahaan pembiayaan, maupun sekuritas.
Menurutnya, apabila pengawasan sektor keuangan dan konglomerasi tidak berada dalam satu lembaga yang sama, potensi mis komunikasi dan diskoordinasi maupun disharmonisasi berpeluang terjadi. Apalagi kehadiran OJK dalam mengawasi sektor jasa keuangan berkaitan erat dengan krisis ekonomi 1998 yang pada saat itu memang dibutuhkan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang bersifat terintegrasi.
"The beauty of pengawasan terintegrasi ya OJK ini, sejak OJK berdiri sampai hari ini keseluruhan kondisi sistem keuanga masih terjaga dengan baik, dan perannya secara nyata tidak bisa dipungkiri, karena dampak dan fungsi pengawasan yang berlaku terintegrasi," katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan Subchi mengatakan kewenangan lembaga keuangan seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan sudah on the track dalam mengatasi permasalahan ekonomi saat ini. Hanya saja, diakuinya, ada beberapa celah yang mendorong perlu adanya perbaikan pengaturan agar ketiga lembaga tersebut dapat berfungsi optimal.
Pertama, adanya skema bantuan likuiditas jangka pendek dari Bank Indonesi a untuk membantu bank yang mengalami krisis likuiditas dinilai terlalu rumit. Setidaknya, bank yang membutuhkan bantuan likuditas perlu memenuhi 12 item persyatan.
Pemerintah pun, lanjutnya, menilai dengan banyaknya persyaratan tersebut membuat kebijakan ini jadi berjalan lamban. Hingga akhirnya, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dimungkinkan untuk membantu likuditas bank yang sedang mengalami permasalahan.
Fathan mencontohkan permasalahan penyelamatan Bank Bukopin yang membutuhkan dana Rp5 triliun mengalami perdebatan yang cukup alot.
"Sebetulnya bukan problem kelembagaan, kelembagaan on track, kalau kritik ada beberapa sektor keuangan yang alami maladministrasi, malfunction, jadi perlu ada penguatan seperti Bank Indonesia ubah syarat pinjaman jangka pendek," katanya.
Menurutnya, daripada membuat peraturan pemerintah pengganti undang undang (Perppu) untuk melakukan reformasi sistem keuangan, lebih tepat melahirkan ombibus law yang akan merangkum semua permasalahan OJK, LPS, dan BI. Hanya saja, apabila membentuk omnibus law, akan terkesan berkejaran dengan waktu di tengah kondisi krisis pandemi.
"Pasar keuangan harus kita rangkum dalam ominibus law sektor kauangan, cuma waktu situasi pandemi pemerintah ambil jalan Perppu, tetapi tidak ada perubahan sektor keuangan cuma penguatan," katanya.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan penguatan kelembagaan memang lebih diperlukan alih-alih mengubah fungsinya. Seperti misalnya OJK yang pertama kali dibentuk karena alasan perlunya pengawasan terintegrasi.
Saat ini, lanjutnya, jumlah konglomerasi keuangan terus meningkat sehingga pengawasan terintegrasi memang perlu dilakukan OJK. Apalagi, pengawsan terhadap sektor jasa keuangan yang saat ini telah berkembang tidak bisa dilakukan secara terpisah.
"Kalau seandainya dipelukan penguatan OJK dalam rangka mewujudkan cita-cita waktu OJK pertam akalu dibentuk, dengan mengembalikan pengawsan dari OJK ke BI justru akan menghianati apa yang sudah dicita-citakan waktu bentuk pengawasan terintegrasi," sebutnya.
Senada, Ekonom senior Indef sekaligus Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani mengatakan peraturan lembaga keuangan yang saat ini ada sudah cukup baik. Daripada mengubah fungsinya, pengutaan kelembagaan justru lebih diperlukan.
Apalagi, krisis ekonomi merupakan hal yang tidak mungkin dihindari. Setelah adanya krisis 2008, pada 2012 muncul lagi krisis pencetakan uang, kemudian krisis utang eropa. Setelah pandemi Covid-19 berlalu, dipastikan akan muncul krisis baru sehingga daripada mengubah kelembagaan, penguatan menjadi hal terpenting yang harus dilakukan.
Selain itu, perlu juga dilakukan market conduct atau pengawasan perilaku jasa keuangan. Pemerintah harus belajar dari kasus-kasus di sektor jasa keuangan yang terjadi selama ini sehingga dapat memberikan solusi yang tepat.
"Kalau kasus dibiarin aja, banyak meledak jadi bahaya, belajar mana yang harus diperaiki, jangan salah obat," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel