Mengukur Untung Rugi Kelanjutan Skema Berbagi Beban BI dan Pemerintah

Bisnis.com,28 Sep 2020, 18:49 WIB
Penulis: Maria Elena
Karyawan keluar dari pintu salah satu gedung Bank Indonesia di Jakarta, Senin, (20/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Skema berbagi beban atau burden sharing pemerintah dan Bank Indonesia akan berlanjut pada 2021 jika serapan Surat Berharga Negara (SBN) belum optimal pada tahun ini.

Peneliti Ekonomi Senior Institut Kajian Strategis (IKS) Eric Alexander Sugandi menilai skema burden sharing antara BI dan pemerintah yang berkepanjangan dapat mengganggu independensi BI.

Tak hanya itu, penerapan skema burden sharing yang terus berlanjut dinilai akan mengganggu kredibilitas BI dalam menjalankan kebijakan moneter.

Eric mengatakan investor portofolio global mengkhawatirkan independensi BI akan terganggu dalam menjalankan kebijakan moneter, terkait pengendalian inflasi jika harus mengikuti keinginan pemerintah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi.

"Idealnya burden sharing jangan keterusan dan kelamaan," katanya kepada Bisnis, Senin (28/9/2020).

Menurut Eric, memang ada cost yang harus ditanggung BI karena skema burden sharing. Namun, hal ini bisa dimaklumi karena kondisi wabah dan resesi seperti saat ini.

Jika mengukur dampak burden sharing ke tingkat inflasi, menurut Eric, pengaruhnya tidak akan signifikan pada tahun ini hingga 2022.

Pasalnya, injeksi uang beredar yang dilakukan BI via skema burden sharing maupun jalur kuantitas (quantitativeneasing/QE) dilakukan secara terukur.

Hal ini tercermin dari data operasi moneter BI sejak diumumkannya burden sharing pada awal Agustus hingga minggu ketiga September 2020 menunjukkan tren peningkatan jumlah penyerapan likuiditas oleh BI dari sistem perbankan dan dari perekonomian.

BI dinilai tetap menjaga agar tidak terjadi peningkatan jumlah uang beredar di perekonomian secara eksesif yang bisa meningkatkan tekanan inflasi secara tajam.

"BI sudah all out sebenarnya memberikan bantuan dari sisi kebijakan moneter. Sekarang tinggal bagaimana kebijakan fiskal, terutama program pemulihan ekonomi nasional [PEN] yang berkait dengan pemulihan daya beli masyarakat, bisa dipercepat," tuturnya.

Sementara, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah menilai pembagian beban antara pemerintah dan BI dapat memberikan kepastian terhadap pembiayaan fiskal karena BI berperan sebagai standby buyer.

Oleh karena itu, beban pemerintah dari sisi fiskal akan menjadi lebih ringan karena pemerintah tidak perlu menetapkan suku bunga tinggi pada penerbitan SBN.

"Dengan adanya kepastian itu, maka pemerintah tidak jadi butuh uang. Kalau butuh uang, suku bunga SBN harus dinaikkan, itu akan jadi beban dalam jangka panjang," katanya.

Di sisi lain, Piter menilai skema burden sharing juga tidak memberikan beban yang besar kepada BI. Jika BI cepat melakukan normalisasi dengan meyerap kembali uang yang sudah beredar melalui pembelian SBN, maka BI harus melakukan operasi moneter dan menjadi beban.

Namun sebaliknya, jika BI tidak buru-buru menyerap kembali uang yang sudah beredar, maka dampak kepada BI akan sangat kecil sekali.

"Kalau tidak segera dilakukan, maka tidak jadi beban bagi BI," katanya.

Menurut Piter, dampak ke inflasi pun sangat kecil karena saat ini sisi permintaan masyarakat masih sangat rendah. Di samping itu, dalam pada Juli dan Agustus justru terjadi deflasi.

Tekanan inflasi akan terjadi ketika ada kenaikan permintaan yang sangat tinggi atau inflasi terjadi ketika ada keterbatasan pasokan. Namun, kedua hal ini tidak terjadi saat ini.

"Dengan demikian, beban bagi BI bisa diminimalkan. Bahkan, bisa ditiadakan dengan BI tidak menarik uang yang beredar," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Sulistyo Rini
Terkini