Membangun Tata Bisnis Baru, bukan sekadar WFH

Bisnis.com,29 Sep 2020, 11:04 WIB
Penulis: Priyanto Soedarsono
PNS Diwajibkan WFH, Makin Slow Kerjanya?

Judul tulisan ini mengambil ide dari pidato Presiden pertama Indonesia Soekarno di depan sidang Dewan Keamanan PBB pada 1960 yang berjudul Membangun Tata Dunia Baru (To Build the World a New). Saat ini judulnya menjadi relevan dalam konteks yang lebih spesifik, karena banyak tata kelola yang berubah akibat pandemi Covid-19, khususnya dalam dunia bisnis.

Sisi new-nya sudah kita ketahui sebagai new normal, sehingga, dalam konteks ini dapat dikatakan pandemi telah menyebabkan banyak tata kelola perusahaan yang berubah. Richard Baldwin (2020) dalam Chicago Booth Review menyebutkan Covid-19 telah memengaruhi sistem pada beberapa area seperti supply chain disruption, demand shock, travel ban, financial distress, postponed investment, dan layoffs.

Dari sisi makroekonomi, penulis menambahkan monetary dan fiscal policy sebagai area yang terpengaruh. Akibatnya pada tingkat mikro, banyak pula company policy yang harus diubah untuk merespon perubahan pada area-area ini. Secara financial, hal yang paling terlihat pertama kali dalam perusahaan adalah revenue dan expense. Supply shock dan demand disruption dengan mudah memengaruhi volatilitas harga produk dan volume.

Perusahaan akan beruntung memiliki kontrak penjualan jangka panjang, paling tidak volume dapat diamankan walaupun harga penjualan tertekan. Pekerjaan yang belum sempat dieksekusi tahun lalu dapat digeser dan menjadi income tahun ini. Hal ini biasanya terjadi pada perusahaan konstruksi.

Perusahaan juga dituntut membuat prioritas penggunaan expense. Pengeluaran yang bersifat fixed dapat digeser menjadi variable. Perlu dipikirkan alokasi expense untuk healthcare. Revenue dan expense recognition dikelola dengan lebih baik.

Pada saat kondisi pasar volatile, cash is king! Likuiditas perusahaan dijaga untuk mengantisipasi contingency. Manajer keuangan sebaiknya deal untuk memiliki committed bank line. Dampak terhadap imbal hasil placement deposito menurun disebabkan kebijakan meneter yang longgar. Bank placement universe ditinjau kembali dan diarahkan kepada bank-bank dengan asset quality yang baik. Asset liability dikelola agar tidak terjadi mismatch financing.

Likuiditas yang dialokasikan pada short term investment diharapkan dapat go defensive seperti alokasi pada low duration fixed income. Untuk long term investment dialokasikan pada long duration fixed income dan stocks mempertimbangkan view pasar yang positif ke depannya. Selain itu fokus kepada instrumen dengan kapitalisasi pasar dan kualitas kredit yang memadai untuk mengantisipasi liquidity risk yang meningkat.

Beberapa perusahaan memiliki aset tetap berupa investment pada properti. Probability penurunan yield aset bisa jadi meningkat. Aset-aset properti dapat pula di-monetize melalui instrumen reksa dana seperti RDPT, DIRE atau KIK EBA agar menjadi produktif. Fluktuasi harga aset perlu ditinjau untuk memonitor impairment loss.

Berkaitan dengan piutang, diperlukan pendekatan yang konservatif pada doubtful account. Negosiasi ulang diperlukan dengan buyer yang terekspos resiko pandemi. Pemasaran perlu mereformulasi strategi dengan mendiversifikasi target buyer. Sebaliknya, negosiasi dengan supplier juga dapat dilakukan untuk fasilitas utang usaha yang strict.

Harap perhatikan pula masalah utang-utang efek yang akan mature agar tidak terjadi mismatch. Perusahaan dapat memanfaatkan fasilitas hedging untuk utang berdenominasi nonrupiah. Inventory yang terlalu rendah dapat disebabkan supply shock, sebaliknya yang terlalu tinggi dapat disebabkan demand disruption. Perusahaan perlu concern pada inventory management karena jika terlalu rendah dapat mempengaruhi sales dan yang terlalu tinggi dapat meningkatkan cost of carry.

Travel ban dapat mempengaruhi transportasi inventory goods. Alternative supplier perlu dipertimbangkan untuk mengantisipasi source of inventory. Selain itu feasibility study untuk capital expenditure (capex) perlu dikaji ulang, karena beberapa asumsi boleh jadi sudah tidak relevan. Untuk perusahaan yang terkait dengan sasaran target capex, jika ada perubahan akan berimplikasi pada revenue dari segmen tertentu. Fokus bisnis bisa jadi berubah, sehingga perlu mencari opportunity bisnis lainnya.

Pada level manajemen, area-area yang terpengaruh pandemi di atas dapat berimplikasi pada bisnis perusahaan berupa dampak positif atau negatif. Para pemegang saham dan manajemen perlu merevisi target perusahaan (pendapatan, pengeluaran, dan keutungan sebelum pajak) dan juga strategi bisnisnya.

Jika tadi kita berbicara dampak secara finasial, selanjutnya dampak operasional perlu menjadi perhatian yang diwujudkan dalam company policy. Mengambi intisari dari poin-poin utama ulasan Harvard Business Review, dampak yang paling terlihat adalah bekerja jarak jauh (remote work).

Perusahaan sudah harus memiliki business contigency plan seperti skenario secondary office yang diuji secara regular. Perusahaan sudah harus siap bila event risk ini terjadi.

Company policy lainnya yang perlu disiapkan seperti medical policy (izin sakit dan tunjangan berobat), kebijakan perjalanan dinas, pelatihan untuk penyelia mengenai pandemi, pembentukan pusat informasi untuk mengelola informasi dan standard operating procedure untuk pegawai yang terinfeksi.

Tata kelola perusahaan ini merupakan respon terhadap area pada sistem yang terpengaruh oleh Covid-19, sehingga respon ini dapat menjadi new normal untuk tata kelola berikutnya. Dalam hal implementasi, tentunya respon ini perlu disesuaikan dengan kondisi spesifik setiap perusahaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Sutarno
Terkini