Sepanjang tujuh bulan pertama tahun ini, penyaluran kredit Bank Pembangunan Daerah (BPD) di tengah pandemi Covid-19 tumbuh mengesankan. Tercatat hingga Juli 2020, kredit BPD melambung cukup tinggi mencapai 8,23% secara tahunan (yoy) menjadi Rp470,23 triliun.
Pencapaian BPD ini jauh lebih baik ketimbang kelompok bank lainnya seperti bank persero yang tumbuh 3,36%, bank campuran 2,16%, bank umum swasta nasional minus 0,86%, dan kantor cabang bank asing minus 5,35%. Meski tinggi, pertumbuhan kredit BPD tersebut belum mampu mendorong laju penyaluran kredit secara industri yang tumbuh 1,53% (yoy). Ini tidak lepas dari rendahnya porsi kredit BPD terhadap industri perbankan yang hanya mencapai 8,49%.
Selain tumbuh tinggi, penyaluran kredit bank milik pemerintah daerah tersebut juga meningkat ketimbang Juli 2019 yang naik 7,65% (yoy). Bila dicermati lebih lanjut, peningkatan kredit tersebut didorong oleh derasnya penyaluran kredit konsumsi yang tumbuh dari 7,15% menjadi 9,11%.
Sementara dua jenis kredit lainnya yang merupakan kredit produktif, yaitu kredit modal kerja dan investasi tumbuh menyusut, masing-masing dari 15,54% dan 5,19% menjadi 13,02% dan 2,19%.
Komposisi kredit konsumi yang dominan mencapai 70,35% dari total kredit BPD telah mengangkat pertumbuhan kredit BPD secara keseluruhan. Terkonsentrasinya penyaluran kredit BPD pada kredit konsumsi itu, khususnya berupa kredit perseorangan (personal loans) kepada pegawai aparatur sipil negara (ASN) di berbagai institusi pemerintahan daerah memang sudah bukan barang baru.
Bila kita ambil rentang waktu yang lebih panjang selama satu dekade terakhir, praktis porsi kredit konsumsi terhadap total kredit selalu tinggi, yakni di kisaran 70%. Jenis kredit konsumsinya pun dominan berupa kredit pegawai.
Kredit konsumsi kepada pegawai memang bisnis yang menggiurkan. Pasalnya, margin kredit pegawai tebal dengan risiko yang sangat rendah karena pembayaran angsuran kredit langsung dipotong pada rekening gaji pegawai yang bersangkutan di bank tersebut. Tidak mengherankan di tengah pandemi ini banyak bank berlomba memberikan kredit pegawai, terutama ke nasabah ASN dan payroll.
Penyaluran kredit konsumsi yang meningkat ini lantas membuat rasio pendapatan bunga bersih (NIM) BPD tetap relatif tinggi dan terus naik kendati ekonomi nasional sedang dihantam wabah. Sebagai gambaran, hingga Juli 2020, rasio NIM BPD tercatat sebesar 5,77%, meningkat dibandingkan dengan sebelum pandemi (Februari 2020) yang tercatat 5,66%.
Sebaliknya, rasio NIM pada kelompok bank lain cenderung turun seperti bank persero dari 5,23% menjadi 4,47%, bank umum swasta nasional dari 4,14% menjadi 4,07% dan kantor cabang bank asing dari 3,47% menjadi 3,04%.
Karakteristik kredit BPD semacam itu juga menyebabkan kredit yang direstrukturisasi akibat pandemi relatif rendah yaitu hanya 6,83% dari total kredit atau setara Rp32,13 triliun meski meningkat signifikan dibandingkan dengan sebelum pandemi Covid-19 sebesar Rp9,43 triliun.
Dalam rangka memulihkan ekonomi nasional akibat pandemi, pemerintah pusat telah mengambil kebijakan untuk melakukan penempatan dana, tidak hanya pada bank persero tetapi juga pada BPD. Saat ini dana pemerintah yang dialokasikan untuk BPD sebesar Rp11,5 triliun yang mencakup 7 BPD, yaitu Bank Jabar Banten, Bank DKI, Bank Jateng, Bank Jatim, BPD DIY, BPD Bali dan Bank Sulutgo.
Dana tersebut harus disalurkan, terutama ke nasabah UMKM dalam bentuk kredit sebanyak 2 kalinya (leverage) dari dana yang ditempatkan pemerintah. Artinya, BPD harus menyalurkan kredit minimal Rp23 triliun. Tentu bagi BPD penerimaan dana Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebanyak itu menguntungkan, karena berbiaya relatif murah dan dapat mengakselerasi pertumbuhan perhimpunan dana pihak ketiga (DPK) BPD sebesar 2%. Begitu pula dari sisi kredit, diperkirakan mendongkrak pertumbuhan kredit BPD hingga bertambah di kisaran 5%.
Di sisi lain penyaluran kredit dari dana PEN itu menjadi tantangan tersendiri bagi BPD karena mestinya harus disalurkan kepada nasabah UMKM dalam bentuk kredit produktif. Padahal BPD lebih piawai menyalurkan kredit pegawai (konsumsi) ketimbang kredit produktif.
Kompetisi yang ketat dengan kelompok bank lainnya dan lebih tingginya risiko juga menyebabkan penyaluran kredit BPD dalam bentuk modal kerja dan investasi masih belum besar.
Kesulitan BPD dalam bersaing dengan bank-bank lain sejatinya tidak hanya terjadi pada kredit produktif tetapi juga kredit konsumsi yang berupa kredit properti, yaitu mencakup kredit pemilikan rumah (KPR), kredit pemilikan apartemen (KPA) serta kredit rumah toko/rumah kantor (ruko/rukan), dan kredit kendaraan bermotor (KKB). Ini dapat dilihat dari porsi kredit properti dan KKB yang sangat rendah dari total kredit konsumsi. Hingga Juli 2020, porsi kredit properti hanya 7,38% atau Rp24,41 triliun, sedangkan porsi KKB hanya 0,15% atau Rp0,49 triliun.
Tantangan yang tak kalah besarnya juga terkait penyaluran kredit modal kerja dan investasi oleh BPD yang nampaknya kurang prudent. Ini bisa dilihat dari rasio kredit bermasalah (NPL) pada kedua jenis kredit tersebut yang tinggi. Per Juli 2020, NPL kredit modal kerja mencapai 9,92%, meningkat ketimbang Juli 2019 sebesar 9,14%. Adapun NPL kredit investasi mencapai 5,50%, sedikit menurun ketimbang Juli 2019 (5,51%).
Bila diambil tren waktu dari 2010 hingga Juli 2019, secara rata-rata NPL pada kedua jenis kredit tersebut telah melampaui batas aman 5%. Sementara NPL kredit konsumsi tercatat rendah yakni hanya 1,11%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel