RUU Cipta Kerja Dapat Memengaruhi Defisit BPJS Kesehatan. Kok Bisa?

Bisnis.com,04 Okt 2020, 18:44 WIB
Penulis: Wibi Pangestu Pratama
Karyawan beraktivitas di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Jakarta, Rabu (13/5/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Pengesahan omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU Cipta Kerja) dinilai dapat menyebabkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS Kesehatan) kembali mengalami defisit seiring adanya potensi penurunan iuran dari pekerja.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai bahwa terdapat sejumlah poin dalam RUU tersebut dapat membawa dampak negatif bagi jaminan sosial, baik ketenagakerjaan maupun kesehatan. Dampak paling besar akan terjadi pada aspek penerimaan iuran.

Menurut Timboel, poin pertama yang rawan membebani program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah kemudahan dunia usaha dalam merekrut pekerja kontrak dan outsource, yang disertai dengan longgarnya kewajiban untuk mengangkat mereka menjadi pegawai tetap.

Kondisi tersebut dinilai rawan menimbulkan praktik pemutusan kontrak atau pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi para pekerja. Jika hal itu terjadi, menurut Timboel, besar kemungkinan para pekerja menunggak iuran atau bahkan berhenti mengiur saat terkena pemberhentian kerja.

"Universal health coverage JKN akan terancam. Kalau banyak yang kena PHK belum tentu dia menjadi peserta mandiri, bisa jadi malah berhenti [membayar] iuran," ujar Timboel kepada Bisnis, Minggu (4/10/2020).

Kondisi tersebut menurutnya dapat memperparah situasi saat ini, yakni masih banyak pekerja kontrak dan outsource yang tidak didaftarkan pemberi kerjanya ke program JKN. BPJS Kesehatan mencatat bahwa per 31 Agustus 2020 terdapat 37,36 juta peserta Pekerja Penerima Upah (PPU), dengan jumlah angkatan kerja saat ini mencapai 137,91 juta.

Ketidakpastian kerja bagi masyarakat pun dinilai dapat membahayakan kepastian jaminan sosial yang berkelanjutan. Menurut Timboel, hal tersebut bukan hanya berisiko bagi para pekerja tetapi juga bagi negara, karena akan menyangkut anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Selain itu, poin lainnya dari omnibus law Cipta Kerja yang berisiko bagi JKN adalah penetapan upah standar oleh pemerintah daerah. Dalam RUU tersebut, pemerintah daerah dapat menentukan upah pekerjanya untuk mengacu kepada upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum kota/kabupaten (UMK).

Menurut Timboel, terdapat kemungkinan pemerintah daerah akan mengacu ke besaran upah yang terkecil. Dia mengibaratkan pemerintah Kabupaten B yang semula memiliki UMK Rp4,5 juta kemudian akan mengacu ke UMP yang senilai Rp2 juta.

Dia menuturkan bahwa jika hal tersebut terjadi, memang pekerja eksisting tidak akan dipangkas gajinya, tetapi upah yang lebih kecil berpotensi diterapkan kepada pekerja baru. Tidak hanya itu, terdapat risiko PHK pekerja lama agar bisa digantikan oleh pekerja baru dengan upah lebih rendah.

Timboel menilai bahwa jika hal tersebut terjadi maka perolehan iuran dari segmen PPU akan berkurang, karena besaran iuran dihitung berdasarkan persentase terhadap gaji. Kondisi itu menjadi penting karena segmen PPU merupakan sumber iuran terbesar kedua setelah Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang berasal dari uang negara.

"Kalau upah minimum turun kan berarti perolehan iuran PPU akan turun, sedangkan pembiayaan kesehatan kan tetap tinggi karena bergantung kepada inflasi dan sebagainya. Artinya kan bisa terjadi defisit," ujar Timboel.

Dia menilai bahwa pemerintah harus mempertimbangkan dengan benar-benar matang dampak dari pengesahan RUU Cipta Kerja terhadap keberlangsungan JKN. Aturan yang ada menurutnya harus berpihak kepada masyarakat banyak, bukan hanya dari sisi perekonomian tetapi juga jaminan sosial yang bersifat fundamental.

"Potensi terjadi defisit besar karena pemasukan nomor duanya turun, peserta berpotensi berkurang. Jangan sampai tahun ini surplus Rp2,5 triliun tapi setelahnya [RUU Cipta Kerja] berlaku jadi defisit lagi," ujar Timboel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Sulistyo Rini
Terkini