Sistem Pungutan Pajak Baru di UU Ciptaker Perlu Regulasi Dukungan

Bisnis.com,11 Okt 2020, 14:16 WIB
Penulis: Jaffry Prabu Prakoso
Petugas melayani wajib pajak dalam pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi (OP) tahun 2016 di Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Timur I, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (21/4)./Antara-Moch Asim

Bisnis.com, JAKARTA - Melalui Omnibus Law Cipta Kerja, pemerintah mengubah rezim penarikan pajak penghasilan. Jika sebelumnya menganut worldwide tax system menjadi territorial tax system.

Director TaxPrime, Muhamad Fajar Putranto mengatakan bahwa perubahan skema pajak tersebut baik. Ini membuat kepastian hukum bagi pengusaha.

Melalui konsep worldwide tax, semua pengusaha Indonesia akan berpikir ulang ketika ingin melakukan ekspansi bisnis ke luar negeri. Alasannya pajak penghasilan yang dikenakan seperti di Indonesia, bukan di negara perluasan.

Belum lagi ada skema controlled foreign corporation (CFC). Tidak heran apabila pengusaha Indonesia hanya jago kandang. Inilah yang menjadi salah satu masalah dalam perpajakan.

“Melalui sistem baru, pengusaha kita tanpa mikir kalau mau ekspansi. Tidak perlu berpikir penghasilannya dipajaki oleh pemerintah Indonesia,” katanya saat dihubungi, Minggu (11/10/2020).

Fajar menjelaskan bahwa meski memiliki keuntungan seperti itu, ada yang perlu diperhatikan negara dalam menerapkan skema baru. Territorial system harus dibarengi dengan kebijakan lain.

Contohnya soal tax amnesty atau pengampunan perpajakan. Kebijakan tersebut sekilas terdengar menarik bagi pengemplang wajib pajak yaitu dibebaskan sanksi.

Akan tetapi ada efek berkelanjutan, dimana pengusaha dikenakan pajak pribadi yang cukup besar, yaitu 30 persen jika penghasilannya di atas Rp500 juta per tahun. Tidak heran pengusaha akan bepikir dua kali menjadi bagian dalam kebijakan tersebut.

Dengan pertimbangan seperti itu, Fajar menambahkan bahwa pemerintah harus memikirkan kebijakan pendukung lain. Dia mengusulkan adanya pengaturan besaran pajak pribadi atau tax rate.

“Di Indonesia tax rate itu kebesaran. Di sisi lain pemerintah tidak bisa membuat kontraprestasi langsung,” jelasnya.

Apabila tidak ada pengaturan tax rate, akan ada oknum pengusaha yang memanfatkan territorial system dengan tinggal di luar negeri dan menghabiskan uangnya di sana.

“Jadi diubah dulu sistemnya. Diubah sekian persen tax rate tapi khusus pengusaha warga negara Indonesia (WNI). WNI ini yang kita support. Kalau bukan WNI, kena pajak seperti biasa,” ucap Fajar

Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan bahwa perubahan rezim pemajakan ini tampak dari ketentuan setiap warga asing yang tinggal lebih dari 183 hari di Indonesia praktis sebagai subyek pajak dalam negeri.

Artinya, semua jenis penghasilan yang diterima oleh orang atau badan di wilayah hukum Indonesia merupakan obyek pajak yang bisa dipungut pemerintah.

“Jadi pengenaan PPh-nya bagi warga negara asing yang merupakan subjek pajak dalam negeri adalah berdasarkan penghasilan mereka yang berasal dari Indonesia,” katanya, Rabu (7/10/2020).

Sebaliknya, bagi warga negara Indonesia yang tinggal di suatu negara lebih dari 183 hari bukan lagi menjadi subyek pajak dalam negeri melainkan menjadi subyek pajak negara yang bersangkutan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Hafiyyan
Terkini