Pembiayaan Bermasalah Terus Naik, Fintech Lending Perbaiki Kualitas Pinjaman

Bisnis.com,15 Okt 2020, 23:29 WIB
Penulis: Aziz Rahardyan
Ilustrasi teknologi finansial/Flickr

Bisnis.com, JAKARTA - Tren naiknya tingkat pinjaman bermasalah kini tengah dialami industri teknologi finansial peer-to-peer lending (fintech lending) Indonesia. Namun, dari 157 platform legal yang berperan mempertemukan pendana (lender) dan peminjam dana (borrower), tak semuanya mengalami fenomena serupa yang diakibatkan pandemi Covid-19 ini.

Apabila tingkat wanprestasi pengembalian pinjaman 90 hari (TWP90) rata-rata terlampau tinggi, kepercayaan dan tingkat penerimaan masyarakat pada risiko di dalam industri bakal jadi pertaruhan di masa depan.

Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Adrian Gunadi menjelaskan asosiasi berupaya memotivasi hal ini lewat pembuatan gugus tugas terkait risk management para anggotanya. Selain memperkuat credit scoring lewat integrasi Fintech Data Center (FDC) atau biasa disebut 'BI Checking ala fintech lending', strategi collection yang baik, serta dukungan market seperti kerja sama dengan industri asuransi dan penjaminan akan jadi langkah-langkah taktis asosiasi.

Pria yang juga merupakan Co-Founder & CEO PT Investree Radhika Jaya atau Investree ini pun mengingatkan, di era pandemi ini setidaknya ada dua strategi kunci, agar fintech lending mampu menjaga kualitas pinjaman. "Avoid sector high risk dan fokus ke winning industry. Ini menjadi salah satu kunci. Kita lihat di antaranya sektor e-commerce, ICT, personal & health care, food processing & retail, serta medical supply services," katanya dalam diskusi virtual, Kamis (15/10/2020).

Selain melihat sektor-sektor yang lebih resilience, perusahaan fintech lending mesti lebih gencar berkolaborasi bersama ekosistem digital lain, seperti e-commerce atau lembaga pengadaan pemerintah. Dengan 'mengintip' data usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dari ekosistem tersebut, fintech akan mendapatkan digital footprint UMKM calon nasabah secara lebih jelas dan ujungnya akan berpengaruh pada collection yang lebih baik.

Sebelumnya, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggambarkan bahwa tingkat kredit bermasalah fintech lending terus terjadi sejak pandemi Covid-19. Pada Februari 2020, angkanya masih berada di level 3,92 persen, lalu naik ke angka 4,22 persen pada Maret 2020, berlanjut 4,93 persen (April 2020), 5,1 persen (Mei 2020), 6,13 persen (Juni 2020), dan 7,99 persen (Juli 2020).

Data terbaru per Agustus 2020 masih konsisten mencatatkan kenaikan dari bulan sebelumnya, di mana TWP90 dari para penyelenggara fintech lending rata-ratanya telah mencapai 8,88 persen.

PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) mencatatkan tingkat keberhasilan pengembalian pinjaman 90 hari (TKB90) masih berada di angka 90,55 persen atau masih di bawah rata-rata industri sesuai data OJK, yakni 91,12 persen. Amartha merupakan fintech yang fokus menggarap nasabah segmen usaha mikro di pedesaan.

Chief Commercial Officer Amartha Hadi Wenas mengakui fenomena kredit macet akibat pandemi sempat dialami Amartha dengan repayment rate para peminjam hanya 65 persen dari keseluruhan portofolio. Namun saat ini angkanya telah membaik. 

"Maka, Amartha menerapkan inovasi kebijakan yang adaptif untuk mencegah gagal bayar pada mitra. Setidaknya empat kebijakan telah meningkatkan repayment rate pada awal pandemi 65 persen, kini telah mencapai 97 persen," jelasnya kepada Bisnis.

Empat kebijakan tersebut di antaranya, melakukan inovasi dalam credit scoring penyaluran pinjaman baru, yang kini turut mempertimbangkan pengaruh Covid-19 di suatu daerah tempat calon nasabah tersebut berada. Kedua, dalam hal collection, Amartha menekankan penagihan untuk pendanaan lama, melalui metode inovatif seperti titip bayar antara anggota majelis ke ketua majelis, sistem pertemuan kelompok kecil, dan metode door-to-door collection.

Ketiga, mengakomodasi restrukturisasi antara borrower dengan lender, dengan menawarkan perpanjangan tenor (Grace Period) untuk mitra terdampak dalam pendanaan lama. Serta terakhir, memberikan pendampingan dan pelatihan alternatif usaha bagi Mitra Amartha yang usahanya terdampak Covid-19.

Fintech Perbanyak Garap Sektor Produktif 

Sementara itu, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Tris Yulianta selaku perwakilan regulator mengungkapkan perspektif lain terkait hubungan TWP90 dengan segmentasi para penyelenggara fintech lending.

Menurutnya, para penyelenggara fintech lending yang biasa bermain di sektor konsumtif, multiguna, atau daily interest, harus mulai memenuhi ketentuan wajib menyalurkan 25 persen pembiayaan ke sektor produktif. Tris beralasan, risiko pinjaman cash loan dan multiguna kepada sektor konsumtif di tengah pandemi lebih tinggi dan menjadi penyumbang terbesar kenaikan tingkat kredit bermasalah industri fintech lending.

Para pelaku fintech lending di sektor produktif memang cenderung lebih mampu mempertahankan TKB90 seperti disampaikan oleh PT Mitrausaha Indonesia Group (Grup Modalku) atau Modalku yang mempertahankan TKB90 di angka 94,99 persen.

CoFounder & CEO Modalku Reynold Wijaya mengatakan risiko menyalurkan pembiayaan kepada UMKM di Indonesia harus dibarengi dengan penerapkan prinsip responsible lending yang tegas lewat assessment menyeluruh saat pengajuan pinjaman. Hal ini untuk memastikan peminjam memiliki kemampuan melunasi pinjaman.

"Setelah peminjam UMKM mendapatkan pinjaman, Modalku melakukan monitoring secara rutin dengan berkomunikasi secara reguler dengan peminjam dan bila terdapat kendala bisnis dapat mendukung untuk menemukan solusi, apabila pembayaran pinjaman tidak lancar," ujarnya kepada Bisnis.

Sementara itu, CEO & Co-Founder PT Akseleran Keuangan Inklusif Indonesia (Akseleran) Ivan Nikolas Tambunan menjelaskan bahwa sebenarnya tidak ada resep khusus dalam mempertahankan TKB90 Akseleran yang kini masih 97,84 persen. "Kuncinya risk management yang prudent. Dari sisi portfolio, kami pilih untuk menurunkan risiko dengan fokus di invoice financing, dan memperkecil porsi pre-invoice financing," tuturnya.

Portofolio Akseleran terhadap invoice financing yang tadinya hanya 30 persen, kini berbalik mendominasi hingga 60% dari total portofolio penyaluran. Sekadar informasi, invoice financing berarti pelaku usaha sudah menyelesaikan pekerjaannya namun belum menerima pembayaran, sehingga butuh suntikan modal untuk likuiditasnya.

Lebih lanjut, dia mengatakan monitoring yang ketat juga perlu dilakukan. Apabila pelaku usaha mampu membuktikan memiliki cash flow yang baik, Akseleran akan tetap mengakomodasi pinjamannya. "Jadi kita fokus lihat cash flow calon debitur. Kalau terlalu tight, kita tidak kasih dulu. Selain itu, dari sektor yang lagi berat, ya, kita hindari dulu. Seperti properti, atau yang leisure-related seperti tour," tambahnya.

Benedicto Haryono, CEO & Co-founder PT Lunaria Annua Teknologi (KoinWorks) juga mengungkapkan bahwa riset internal dan stress test terhadap para debitur merupakan resep yang dilakukan pihaknya dalam mempertahankan TKB90. "Kita membuat riset berkala. Setiap dua bulan sekali kita melakukan survei ulang di UMKM naungan kita, industri mana yang mulai pulih, kategori mana yang sudah oke," jelasnya, Kamis (15/10/2020).

Setali tiga uang, Founder & CEO PT Dana Syariah Indonesia Taufiq Aljufri sepakat risk management yang prudent merupakan kunci yang membuat pihaknya mampu menjaga TKB90 fintech Danasyariah.id di angka 99,8 persen hingga Oktober 2020.

"Danasyariah hanya mencarikan pendanaan untuk developer yang sudah punya pembeli pasti untuk rumahnya. Yang terkena imbas pandemi biasanya developer yang unitnya belum ada yang membeli, atau karena situasi pandemi menyebabkan calon pembeli membatalkan rencana pembelian," tuturnya.

Taufiq mengungkap langkah ini diberi 'pelapis', yakni apabila pembeli properti tersebut bermasalah atau terjadi gagal bayar cicilan sampai 90 hari lamanya, Danasyariah juga mempersiapkan mekanisme mencari pembeli pengganti.

"Ini bisa dilakukan karena tim Danasyariah sudah lebih dari 11 tahun berpengalaman di bisnis properti. Kita sudah punya rekanan agensi properti yang bisa membantu menjualkan unit properti jika pembeli sebelumnya gagal bayar melebihi 90 hari," tuturnya.

Namun, Taufiq optimistis kebanyakan pembeli properti biasanya sudah mempersiapkan sumber dana untuk angsuran bulanan sejak jauh-jauh hari, sehingga pendemi yang bersifat sementara relatif tidak mengganggu kemampuan bayar angsuran. 

Langkah mitigasi berikutnya, Danasyariah secara legal memegang agunan berupa properti yang nilainya diatas 120 persen dari dana yang digunakan developer. Terakhir, pencairan penyaluran dana ke developer selaku borrower harus sesuai dengan progress bangunan agar dana benar-benar dialokasikan untuk pembangunan properti tersebut.

Di samping syarat-syarat tersebut, lanjut Taufiq, mekanisme mitigasi risiko menggunakan teknologi juga penting dilakukan. "Kita pasti verifikasi developer menggunakan sistem credit scoring, bekerja sama dengan Pefindo untuk mengetahui tingkat potensi resiko gagal bayar dari sisi developer. Serta memastikan bahwa developer tersebut tidak memiliki catatan negatif dari asosiasi developer properti," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Ropesta Sitorus
Terkini