Ternyata, Mayoritas Emiten Masih Cetak Laba Walau Diterpa Pandemi

Bisnis.com,21 Okt 2020, 21:55 WIB
Penulis: M. Nurhadi Pratomo
Karyawati beraktivitas di depan patung banteng di PT Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (4/6/2020). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com,JAKARTA — Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memberikan tugas kepada perusahaan yang masih meraup laba hingga semester I/2020.

Data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menunjukkan jumlah perusahaan terbuka yang memperoleh laba atau keuntungan masih lebih banyak dibandingkan dengan  yang merugi di tengah pandemi Covid-19 selama semester I/2020.

Pemerintah mencatat total pendapatan usaha dari 518 emiten yang telah mengumpulkan laporan keuangan mencapai Rp1.800,32 triliun pada semester I/2020. Realisasi itu turun 9,07 persen dibandingkan dengan Rp1.979,91 triliun periode yang sama tahun lalu.

Dari situ, laba bersih yang dikumpulkan mencapai Rp118,42 triliun pada semester I/2020. Pencapaian turun 42,65 persen dari Rp206,47 triliun per 30 Juni 2019.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat jumlah perusahaan yang mencetak laba sebanyak 325. Sisanya, 193 perusahaan mencetak kerugian.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan 63 persen perusahaan masih untung pada semester I/2020 diharapkan bisa menjadi daya tahan perekonomian nasional.

“Karena perusahaan-perusahaan tersebut adalah leader-nya di bidang masing-masing,” ujarnya dalam paparan daring “Outlook 2021: The Year of Opportunity” yang berlangsung, Rabu (21/10/2020).

Sebelumnya, Vice President Research Artha Sekuritas Frederik Rasali menjelaskan bahwa mayoritas perusahaan mengalami perlambatan karena dampak dari lockdown. Kondis itu menurutnya tidak hanya di Indonesia tetapi juga global.

“Kondisi ini mengakibatkan melemahnya permintaan secara umum,” ujarnya.

Frederik menjelaskan bahwa sektor yang terdampak terutama di ritel dan keuangan khususnya pada kuartal II/2020. Untuk sektor ritel, penurunan terjadi karena berkurangnya jumlah orang bepergian dan konsumsi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok.

“Sedangkan untuk perbankan terkena pukulan dari peningkatan risiko kredit yang mengakibatkan perbankan untuk meningkatkan pencadangan dan juga restrukturisasi kredit yang menggencet NIM menjadi lebih kecil,” paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Rivki Maulana
Terkini