Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia merupakan salah satu pemain kunci berkembangnya perusahaan teknologi finansial (fintech) di Asia Tenggara atau Southeast Asia (SEA).
VP of Investments dari perusahaan modal ventura besutan Telkom Group MDI Ventures Aldi Adrian Hartanto mengungkap bahwa pandemi Covid-19 memang berpengaruh terhadap iklim bisnis para perusahaan fintech.
Namun, dari riset MDI Ventures bersama Finch Capital dan Dealroom.co bertajuk 'The Future of Fintech in SEA', Covid-19 justru mempercepat digital adopsi layanan keuangan di Asean dengan potensi 22 juta pengguna yang bergabung setiap tahun.
SEA pun dinilai termasuk wilayah dengan pertumbuhan tercepat di dunia, Indonesia bahkan membukukan transaksi e-money yang meroket di angka 173 persen dari Januari 2019 ke Januari 2020.
"Jadi, pandemi ini jadi ajang validasi untuk melihat pemain fintech mana yang memang fundamentalnya baik," ungkap Aldi kepada Bisnis, Senin (26/10/2020).
Dalam spotlight terhadap Indonesia, meroketnya transaksi digital ini berkat masifnya fintech payment OVO, serta GoPay besutan Gojek.
Keduanya mencatatkan volume transaksi yang fantastis akibat kompetisi mereka di ranah ride-hailing dan hubungan dengan para strategic partner yang mereka gandeng.
Bergeser dari dominasi fintech pembayaran, fintech peer-to-peer lending di Indonesia pun disorot karena terus mendominasi pendanaan investor daripada jenis fintech lainnya. Yaitu, 76 persen sepanjang 2019 dan telah mencapai 42 persen sepanjang semester I/2020.
Nama-nama besar macam Finaccel (Kredivo), Payfazz, KoinWorks, Investree, Amartha, dan Cashlez merupakan contoh fintech yang baru saja diguyur pendanaan lagi pada 2020.
Selain itu, potensi semakin meluasnya layanan internet, banyaknya penduduk, dan penetrasi layanan digital yang tengah 'booming' memang faktor kunci selanjutnya, kenapa Indonesia di tengah negara SEA lain, memiliki potensi besar untuk dilirik dunia.
Pengguna internet di Indonesia pada 2019 merupakan yang terbesar (152 juta), disusul Filipina (68 juta), Vietnam (61 juta), Malaysia (26 juta), Singapura (5 juta).
Pertumbuhan transaksi volume barang kotor (GMV) lewat internet di Indonesia pada tahun lalu mencapai 49 persen, di atas Vietnam (38 persen), Filipina (32 persen), Malaysia (21 persen), Singapura (17 persen).
Nilai GMV ini, buat Indonesia pun menjadi yang terbesar, US$40 miliar dengan proyeksi mencapai US$130 miliar pada 2025.
Posisi kedua ditempati Singapura dengan nilai US$12 miliar, dan Vietnam dengan nilai yang sama dan diproyeksi mencapai US$43 miliar pada 2025, disusul Malaysia US$11 miliar dan Filipina US$5 miliar.
Dari sisi pendanaan fintech oleh perusahaan modal ventura sejak 2015, Singapura memang mendominasi dengan akumulasi mencapai USD2,6 miliar. Namun, Indonesia berada di posisi kedua (US$0,8 miliar), berada di atas Filipina (US$0,6 miliar), Vietnam (US$0,5 miliar), serta Malaysia (US$0,2 miliar).
Namun demikian, dengan capaian akumulasi semua negara ini, investasi ke sektor fintech di SEA mencatatkan pertumbuhan yang signifikan dibandingkan 2018.
Di mana, modal ventura dari dalam SEA pada 2018 hanya menggelontorkan US$0,3 miliar, naik menjadi US$0,4 miliar pada 2019. Adapun, gelontoran dana dari modal ventura luar wilayah SEA, naik drastis dua kali lipat dari US$0,6 miliar ke US$1,2 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel