Bisnis.com, JAKARTA - Perempuan berambut hitam sebahu menghentikan sepeda motornya dan diparkirkan di depan rumah berpagar hitam. Di teras rumah tersebut ada seorang anak kecil yang duduk di atas sepeda roda tiga, sedang disuap oleh ibunya menjelang senja.
Perempuan tersebut mengenakan seragam perusahaan yang memproduksi susu dan yogurt. Dia mengangkat tas berukuran sekitar 50 cm, 25 cm dan tinggi 40 cm. Keningnya mengkerut dan giginya dirapatkan saat tas berwarna biru tersebut diangkat dari bagian depan motor maticnya.
Dalam tas tersebut ada susu berukuran 3 liter sebanyak 3 kotak, 20 kotak susu berukuran 190 ml dan yogurt ukuran 250 ml sekitar 48 botol. Bila dikalkulasi, produk susu yang dibawanya mencapai 20 liter atau setara dengan air galon isi ulang.
Putri membawa tas berisi susu tersebut ke depan pagar hitam. Meskipun tas yang diangkat berat, sambil tersenyum dia menyapa penghuni rumah yang disinggahinya.
"Bu, beli susu, ada juga yogurt bu. Ada susu kotak ukuran seliter bu," ungkap Putri.
Belum lagi dia menyebutkan harga produk yang dijualnya, ibu yang sedang menyuapi anak perempuannya menjawab, "Tidak bu. Terima kasih."
Ucapan terima kasih juga dikembalikannya kepada perempuan yang sedang memegang sendok di balik pagar. Tanpa berpanjang lebar, Putri langsung menyeret tas berisi susu ke rumah yang disampingnya. Berjalan pelan dan menyambangi rumah lain, dengan harapan ada orang yang membeli produk susunya.
Dia tidak memiliki pendapatan tetap. Upahnya hanya berasal dari persentase penjualan. Meskipun tidak memiliki gaji bulanan, kantor tempatnya bekerja selalu memasang target penjualan bulanan.
Penjualan bulanan harus dicapai oleh sales susu seperti Putri, agar mendapatkan bonus penjualan. Nilai bonus yang ditawarkan bervariasi mulai dari Rp10.000 hingga Rp30.000 untuk penjualan per kotak.
Namun, saat hujan turun, dia lebih memilih berteduh, terkadang pulang ke rumah. Sembari berharap hari esok bisa cerah.
"Kami enggak punya BPJS Kesehatan, Ketenagakerjaan dan gaji bulanan. Karena sales hanya dijadikan mitra saja, bukan karyawan," ungkapnya kepada Bisnis.
Deputi Direktur Bidang Humas dan Antara Lembaga BP Jamsostek Irvansyah Utoh Banja menuturkan bahwa jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan) per September 2020 sekitar 674.000 badan usaha, dengan jumlah peserta tenaga kerja mencapai 50,4 juta.
Dia tak menampik bahwa hingga saat ini masih ada perusahaan yang tidak memberikan fasilitas jaminan sosial kepada pekerjanya. Hingga saat ini, BPJS Ketenagakerjaan mencatatkan sekitar 40 juta tenaga kerja di Indonesia belum menerima proteksi jaminan sosial.
Untuk menambah jumlah badan usaha dan pekerja menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan maka pihaknya senantiasa aktif melakukan sosialisasi kepada pemberi kerja dan tenaga kerja terkait pentingnya memiliki perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan.
Berdasarkan UU Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam pasal 17 ayat 2, pemberi kerja yang tidak mendaftarkan pekerjanya dalam Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, mendapatkan sanksi yakni teguran tertulis, denda dan sanksi administratif dalam bentuk Tidak Mendapatkan Pelayanan Publik Tertentu (TMP2T).
"Selain itu, BPJS Ketenagakerjaan juga bekerja sama dengan para pemangku kepentingan diantaranya pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk mendukung implementasi jaminan sosial ketenagakerjaan di daerahnya masing-masing," ungkapnya kepada Bisnis, Senin (26/10/2020).
Selama masa pandemi virus corona (Covid-19), Irvansyah menuturkan hampir seluruh bidang usaha dari pemberi kerja saat ini terdampak pandemi Covid19, sehingga berdampak pada kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.
Sebagai bentuk kepedulian kepada pemberi kerja dalam masa pandemi Covid-19, BPJS Ketenagakerjaan juga memberikan relaksasi iuran berupa keringanan iuran Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) & Jaminan Kematian (JKM) sebesar 99 persen, penundaan sebagian iuran jaminan pensiun sebesar 99 persen dan pelonggaran batas waktu pembayaran iuran yang semula dibayarkan setiap tanggal 15 menjadi tanggal 30 bulan.
Tak sampai disitu, lembaga jaminan sosial ini juga menurunkan denda keterlambatan pembayaran iuran dari 2 persen menjadi 0,5 persen. Dia mengharapkan dengan adanya keringanan iuran tersebut maka, pemberi kerja dapat mengatur cash flow nya dan para pekerjanya tetap mendapatkan perlindungan dari BPJS Ketenagakerjaan.
Iene Muliati, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengungkapkan tujuan jaminan sosial untuk memenuhi kebutuhan sosial bagi peserta atau anggota untuk memenuhi hidup yang layak bagi setiap peserta yang mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan karena sakit, kecelakaan kerja, memasuki usia lanjut dan meninggal dunia.
Dia mengungkapkan bahwa jaminan sosial bertujuan untuk memitigasi dampak-dampak yang terjadi karena krisis. Kini Indonesia sedang mengalami krisis karena pandemi Covid-19. Krisis ini berdampak pada kehidupan sosial ekonomi di masyarakat.
“Kami dari DJSN perlu melihat dan memitigasi, karena banyak masyarakat Indonesia yang menyadari pentingnya jaminan sosial. Pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan untuk membantu orang-orang yang terdampak pandemi, kepada UMKM, subsidi upah, bantuan sosial dll,” ungkapnya.
Ferdinandus S. Nggao, Kepala Kajian Kebijakan Sosial, Lembaga Manajemen FEB UI mengungkapkan bahwa jaminan sosial adalah praktek umum di setiap negara dan setiap negara memiliki model sesuai dengan kondisi di negara masing-masing.
Dia mengungkapkan jaminan sosial adalah wujud tanggung jawab negara untuk mensejahterakan masyarakat, guna memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.”Program jaminan sosial harus melindungi masyarakat dan pekerja dari risiko sosial, khususnya efek pandemi Covid-19 yang berdampak pada risiko ekonomi,” ungkapnya.
Kementerian Tenaga Kerja mencatatkan telah ada 3,05 juta pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga Juni 2020, dengan jumlah peserta 1,73 juta BPJS Ketenagakerjaan.
Orang-orang yang di-PHK dan memiliki gaji kurang dari Rp5 juta rupiah mendapatkan subsidi upah senilai Rp600.000 per bulan untuk membantu kehidupan sosial dan ekonomi selama pandemi. Pemerintah juga telah menyalurkan 12,27 juta subsidi pada Oktober 2020.
Kini masih ada sekitar 40 juta pekerja bernasib seperti Putri yang berharap mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Namun, dia hanya menjadi penonton, padahal pendapatannya hanya berkisar Rp1 juta-Rp2 juta. Dia juga berharap bisa mendapatkan bantuan sosial, tapi apa daya tempatnya bekerja belum memberikan jaminan sosial. Kini dia memutuskan untuk membuat BPJS Ketenagakerjaan bukan penerima upah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel