Mempertanyakan Kredibilitas Tim Ekonomi Jokowi

Bisnis.com,05 Nov 2020, 16:53 WIB
Penulis: Edi Suwiknyo
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) saat mengikuti KTT Luar Biasa G20 secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Kamis (26/3/2020). KTT tersebut membahas upaya negara-negara anggota G20 dalam penanganan COVID-19. Biro Pers dan Media Istana

Bisnis.com, JAKARTA - Kinerja ekonomi kuartal IV/2020 menjadi penentu potret perekonomian ekonomi selama tahun 2020. Apakah sesuai ekspektasi atau kembali melebar dari proyeksi.

Sejauh ini pemerintah telah meramal pertumbuhan ekonomi 2020 berada di -1,7 persen sampai dengan minus 0,6 persen. Namun, data-data selama tiga kuartal terakhir menunjukkan pertumbuhan ekonomi masih dan terus tertekan. Ada potensi realisasi menjauh dari proyeksi, kendati pemerintah mengklaim ada pembalikan pada kuartal III/2020.

Indikasi pelemahan ekonomi sejatinya telah muncul sejak awal tahun 2020. Pada kuartal 1/2020 ekonomi Indonesia hanya tumbuh 2,97 persen year-on-year. Angka ini memang lebih baik dibandingkan negara-negara lain yang tercatat minus karena mulai terserang pandemi Covid-19.

Namun, jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya ekonomi Indonesia sebenarnya telah terkontraksi sebesar 2,41 persen. Konsumsi rumah tangga anjlok dari 4,97 persen pada kuartal IV/2019 menjadi minus 2,84 persen pada kuartal 1/2020. Invetasi juga mengalami nasib serupa yakni di angka minus 1,7 persen.

Singkat cerita, pandemi mulai datang ke Indonesia. Perlahan mulai menyebar. Para pejabat publik tak pernah terbuka. Kalimat yang muncul selalu sejuk, tenang, masyarakat diminta tak panik.

Bahkan yang paling konyol, beberapa ahli menyebut Corona tak cocok hidup di iklim tropis. Ya bisa dibayangkan, masyarakat jadi abai dan tak patuh protokol kesehatan.

Ada kisah menarik. Kejadiannya di Jawa Tengah bulan Maret tepatnya. Waktu itu seorang kepala daerah di provinsi tersebut secara terbuka mengatakan bahwa wilayahnya bebas Corona. Keyakinannya itu disampaikan dalam rilis ke sejumlah media.

Namun siapa sangka, tak lama setelah rilis itu beredar, seorang warga Solo tiba-tiba dinyatakan terinfeksi virus Corona. Pasien ini yang sempat bepergian ke Bogor, Jawa Barat kemudian dinyatakan meninggal. Publik gempar dan mempertanyakan keterbukaan pemerintah soal virus ini.

Sejak kejadian tersebut, pemerintah perlahan terbuka tentang data corona. Satu persatu pasien diumumkan. Namun apa lacur, status pandemi kemudian mulai ditetapkan oleh WHO. Pasien terus bertambah dan ekonomi mulai kolaps.

Selama kuartal II/2020 pembatasan sosial mulai diterapkan. Kampanye soal social distancing juga mulai digalakan. Aktivitas masyarakat berkurang. Akibatnya ekonomi anjlok, konsumsi melorot, investasi terjun bebas, dan ribuan orang mulai kehilangan perkerjaaan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia pasa kuartal II/2020 terjungkal ke minus 5,32 persen. Angka yang sangat rendah sejak 10 tahun terakhir. Konsumsi dan inveatasi juga terkontraksi masing-masing 5,52 persen dan 8,61 persen.

Pemerintah saat itu kaget. Selain terkoreksi cukup dalam. Angka itu juga diluar ekspektasi. Pemerintah kemudian berupaya untuk memulihkan ekonomi. Program pemulihan ekonomi nasional (PEN) kemudian diluncurkan.

Namun tentu saja, program itu membutuhkan banyak anggaran. Utang kemudian jadi jalan pintas. Itu wajar karena penerimaan pajak terkontraksi di atas 10 persen. Dalam perjalanannya pemerintah mengalokasikan anggaran senilai Rp695,2 triliun untuk penanganan Covid-19 dan PEN.

Konsekuensi dari penambahan anggaran itu adalah pelebaran ruang fiskal. Perppu No.1/2020 kemudian dibuat. Menariknya, ada kata-kata yang ambigu dalam perppu itu. Defisit tidak ditetapkan batas atasnya, justru batas bawahnya yang diatur. Kalimatnya kurang lebih begini: "boleh di atas 3 persen dari PDB".

Kalimat di atas 3 persen ini sempat dipersoalkan banyak pihak. Kalau tidak ditentukan batas atasnya, berarti pemerintah bisa sewenang-wenang meningkatkan defisit. Disiplin fiskal yang menjadi motor pengelolaan anggaran pasca reformasi juga terancam dilanggar.

Namun, pemerintah punya argumentasi lain. Batas atas tak ditetapkan karena kondisi sangat tidak pasti. Publik juga tak perlu takut karena pemerintah tidak akan ugal-ugalan dan cenderung menetapkan defisit sesuai kebutuhan. Angka 6,34 persen kemudian muncul.

Usut punya usut, PEN yang digadang-gadang bisa mendorong perekonomian rupanya tak benar-benar manjur. Padahal pemerintah ingin ekonomi kuartal III/2020 positif. Dan Indonesia bisa terhindar dari resesi.

Tetapi, tim ekonomi Presiden Joko Widodo lagi-lagi tak bisa menetapkan proyeksi secara presisi. Hasilnya hari ini diumumkan BPS hari ini, ekonomi kuartal III/2020 masih terjungkal di angka 3,49 persen. Lebih baik dari kuartal II/2020. Tapi angka itu lagi-lagi meleset. Ekonomi masih sakit dan konsumsi masyarakat masih loyo.

Lalu bagaimana nasib ekonomi Indonesia di kuartal IV?

Menteri Keuangan Sri Mulyani sangat optimis tren pembalikan ekonomi akan berlanjut pada kuartal IV/2020. Konsumsi, investasi, dan perdagangan akan pulih. Di sisi lain, optimalisasi anggaran PEN akan terus dilakukan. Apalagi realisasinya masih di bawah 70 persen.

"Pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional yang saat ini juga terus di akselerasi akan terus didorong untuk meningkatkan momentum pembalikan ekonomi di Kuartal keempat,"ujar Sri Mulyani

Nah, dengan realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal 3,49 persen, paling tidak realisasi kuartal IV/2020 harus di atas minus 1 persen untuk mencapai pertumbuhan full year di angka minus 1,7 persen - minus 0,6 persen.

Kalau di bawah itu, ya wassalam. Tebakan tim ekonomi Presiden Jokowi bisa kembali meleset.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Hadijah Alaydrus
Terkini