Bisnis.com, JAKARTA — Industri asuransi dinilai tidak perlu berorientasi kepada pertumbuhan keuntungan dalam kondisi ekonomi yang sulit. Justru, industri perlu memastikan jalannya bisnis dengan tata kelola yang baik.
Dosen Program MM-Fakuktas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Kapler A. Marpaung menjelaskan bahwa selama pandemi virus corona, kondisi perekonomian terus mengalami tekanan. Hal tersebut memengaruhi penurunan daya beli masyarakat, salah satunya untuk membeli asuransi.
Tekanan yang begitu besar itu, menurutnya, membuat perusahaan asuransi tidak perlu terlalu berambisi untuk meraih pertumbuhan profit yang begitu besar. Alih-alih keuntungan, industri justru harus memastikan kekuatan dan ketahanannya dalam melewati krisis ekonomi akibat pandemi.
"Saat ekonomi sulit sekarang ini, pengelola perusahaan jangan lagi berorientasi terhadap pertumbuhan untuk perolehan keuntungan yang tinggi, tapi cukup dijalankan semua dengan proper, berpegang kepada prinsip udmost good faith dan berdasarkan good corporate governance [GCG]," ujar Kapler kepada Bisnis, Senin (9/11/2020).
Dia bahkan menyatakan bahwa akan lebih baik bagi sebuah perusahaan asuransi untuk tidak mencatatkan pertumbuhan positif saat ini, tetapi fundamental perusahaannya ada dalam kondisi yang sehat. Hal tersebut menjadi modal yang penting untuk menggenjot bisnis saat kondisi pandemi sudah membaik.
Selain itu, Kapler yang juga merupakan Anggota Dewan Kehormatan Asosiasi Perusahaan Pialang Asuransi dan Reasuransi Indonesia (Apparindo) menjelaskan bahwa efisiensi biaya menjadi sesuatu yang penting saat ini. Hal tersebut perlu disertai oleh pemahaman pemegang saham bahwa kondisi daya tahan perusahaan harus diutamakan.
"Pemegang saham tidak saatnya sekarang ini meminta direksi untuk menggenjot pertumbuhan premi. Kalau direksi sudah ditekan, akhirnya prudent underwriting dan GCG bisa terlupakan," ujar Kapler.
Industri dinilai perlu berkaca dari kejadian PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang sempat menjadi primadona asuransi jiwa. Perseroan yang pernah menjadi pemimpin pasar itu kini justru terperosok ke jeratan utang klaim dari polis saving plan.
Bisnis mencatat bahwa berdasarkan laporan keuangan 2017, Jiwasraya membukukan aset Rp45,68 triliun. Satu-satunya asuransi jiwa pelat merah itu menempati peringkat kedua perusahaan dengan aset raksasa, berada di bawah PT Prudential Life Assurance dengan aset Rp71,75 triliun per 2017.
Kondisinya berubah drastis pada 2018 karena aset Jiwasraya terperosok menjadi hanya Rp32 triliun, setelah mengumumkan gagal bayar pada Oktober 2018. Perseroan tak lagi menempati posisi teratas dalam klasemen asuransi jiwa berdasarkan nilai aset.
Kini, pada penghujung kuartal III/2020, aset Jiwasraya tercatat hanya sebesar Rp16,0 triliun. Dengan 'modal' itu, perseroan menghadapi liabilitas Rp54,5 triliun, ekuitas negatif Rp38,5 triliun, sehingga rasio solvabilitas atau risk based capital (RBC) menjadi negatif 1.866 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel