OJK Bakal Buat Aturan Khusus untuk 4 Jenis Fintech

Bisnis.com,09 Nov 2020, 17:57 WIB
Penulis: Aziz Rahardyan
Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan melengkapi aturan lebih terperinci terkait empat jenis teknologi finansial (tekfin/fintech), terutama yang mulai ramai pengguna dan familiar di mata masyarakat.

Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida mengungkap hal tersebut dalam diskusi virtual dan peluncuran Indonesia Fintech Society (IFSoc) bertajuk Peranan Fintech dalam Pemulihan Ekonomi Nasional, Senin (9/11/2020).

Nurhaida mengungkap bahwa hingga kini baru ada aturan khusus dan terperinci terkait fintech peer-to-peer lending (P2P lending) dan equity crowdfunding (ECF).

Padahal, setidaknya sudah ada 18 klaster fintech dalam Grup Inovasi Keuangan Digital (IKD) OJK dalam cakupan POJK No 13/2018.

Sekadar informasi, beleid peraturan ini mencakup aturan dalam penelitian dan pendalaman terhadap para perusahaan fintech penyelenggara IKD, yang dinamai mekanisme regulatory sandbox.

Selama masuk dalam pengawasan grup IKD OJK, para penyelenggara akan melewati tiga lapis perizinan, yakni tercatat, terdaftar, dan berizin.

"Ke depan, untuk masing-masing klaster, ada yang perlu diatur lebih lanjut karena ada hal spesifik dan tersendiri. Saat ini yang urgen atau perlu segera diatur paling tidak ada empat," jelasnya.

Nurhaida mengungkap bahwa empat jenis fintech ini, yaitu klaster aggregator, project financing, financial planner, dan credit scoring.

"Dasarnya kenapa dibilang urgen, karena misalnya, pemainnya sudah banyak seperti aggregator. Ada juga yang penggunanya sudah banyak, sehingga dianggap perlu segera diatur," tambahnya.

Sekadar informasi, 18 klaster dalam IKD OJK ini terbagi dalam empat kategori sesuai prinsip kerjanya.

Pertama, kategori funding yang terdiri dari aggregator, funding agent, dan financial planner. Kedua, kategori financing terdiri dari blockchain-based, ECF, project financing, financial agent, property investment management, dan P2P lending.

Ketiga, yaitu kategori insurance yang memiliki InsurTech dan Insurance Broker Marketplace. Terakhir, ada kategori enabler yang terdiri dari claim service handling, credit scoring, RegTech, otentifikasi transaksi, E-KYC, dan online distress solution.

Sebelumnya, dalam kesempatan yang sama, Ketua IFSoc Mirza Adityaswara menjelaskan bahwa pihaknya hadir untuk membantu regulator, asosiasi, dan pemerintah dalam penelitian dan pemikiran terkait masa depan fintech.

Harapannya, literasi masyarakat akan tumbuh dengan cepat apabila segala sesuatu mengenai fintech diramaikan dengan analisis dan perhatian mendalam dari para intelektual di bidangnya, lewat IFSoc sebagai jembatan.

"Contoh, kalau otoritas moneter menurunkan atau menaikkan suku bunga, banyak yang menganalisis. Begitu pula kalau pemerintah menaikkan atau menurunkan defisit fiskal. Tapi kalau kebijakan terkait digital ekonomi, dunia analisis sunyi-senyap. Kenapa? Karena memang pengetahuan masyarakat dan akademi terkait ini, belum sebaik pemahaman terkait moneter dan pasar keuangan dan APBN. Kami hadir memberikan ruang bagi berkembangnya pemikiran," jelasnya.

Para penggawa IFSoc pun merupakan gabungan dari berbagai disiplin ilmu yang lama berkecimpung dalam dunia fintech, seperti Mirza sendiri yang merupakan Deputi Gubernur Senior BI 2013-19, Rudiantara yang merupakan Menteri Komunikasi dan Informatika RI 2014-19, dan Prasetyantoko selaku ekonom senior sekaligus Rektor Universitas Atmajaya.

Ada pula Yose Rizal Damuri (ekonom senior, CSIS), Dr. Hendri Saparini (ekonom senior), Karaniya Dharmasaputra (pelaku fintech), A. Maryoto (wartawan senior), dan Wahyu Dyatmika (wartawan senior).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Sulistyo Rini
Terkini