Industri Multifinance Dinilai Masih Menarik Bagi Investor, Ini Buktinya

Bisnis.com,10 Nov 2020, 19:26 WIB
Penulis: Aziz Rahardyan
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA - Kendati kinerja pembiayaan di Indonesia tampak begitu terpengaruh pandemi Covid-19, potensi pertumbuhan industri ini terbilang besar dan tampak masih menarik buat para investor.

Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W Budiawan mengungkap hal ini menanggapi potensi maraknya fenomena merger dan akuisisi perusahaan pembiayaan akibat dampak pandemi.

Hal ini menilik assessment terakhir OJK yang mencatat sekitar 12 persen dari 180 multifinance berada dalam posisi kurang sehat atau tidak sehat, baik akibat terdampak pandemi atau memang sudah bermasalah sebelum pandemi.

Namun demikian, Bambang menggambarkan buktinya dalam dua tahun terakhir, banyak dari para multifinance yang masuk 'zona merah' tersebut berhasil mencari investor atau mitra strategis, sehingga akhirnya mampu bertahan hidup.

Oleh sebab itu, menurut Bambang bukan tidak mungkin secara alamiah perusahaan multifinance yang kebanyakan berada dalam kategori kecil, menengah, dan independen ini bertahan hidup dengan cara serupa ke depannya.

"Menurut saya banyak juga yang melihat multifinance di Indonesia sebagai suatu bisnis yang prospektif ke depan, terutama di mata asing seperti Korea, Jepang, dan  Singapura sekalipun. Contohnya, beberapa multifinance sudah diakuisisi mereka dalam dua tahun terakhir ini," ujarnya dalam dalam dialog virtual Bisnis Indonesia terkait industri multifinance: 'Urgensi Relaksasi Kebijakan Guna Mendorong Kinerja', Selasa (10/11/2020).

Oleh sebab itu, OJK terbuka terkait fenomena ini, namun dengan catatan adanya komitmen kuat dari pemegang saham dan manajemen, serta memiliki reputasi yang bagus.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menjelaskan bahwa industri pembiayaan terus melakukan upaya perbaikan demi para investor maupun pendananya, baik dari sektor perbankan maupun pasar modal.

Suwandi menggambarkan bahwa pada kisaran 2005-2015, multifinance pernah menjadi primadona bagi perbankan. Sayangnya, kepercayaan ini sempat runtuh akibat kasus praktik penjaminan ganda (double pledging) dari beberapa oknum multifinance.

Inilah alasan sejak 2018, APPI mengoptimalkan sistem pengawasan kepada para anggotanya. Di antaranya, meminta seluruh anggotanya bergabung dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan atau SLIK, serta membangun sistem daftar agunan atau asset registry

Sekadar informasi, asset registry akan menampung dan mengintegrasikan data aset piutang multifinance, seperti nomor rangka, nomor mesin, nomor sasis, dan nomor plat kendaraan bermotor yang menjadi agunan dari para multifinance untuk mencegah praktik pembiayaan ganda terjadi lagi.

"Inilah kenapa sampai sekarang pinjaman dalam negeri penurunannya masih signifikan. Jadi kita dipukul oleh posisi di mana kita baru saja membuktikan diri untuk bisa lebih dipercaya, tiba-tiba ada Covid-19, dan perbankan pun sedang mengalami kesulitan yang sama," ujarnya.

Namun, Suwandi optimistis bahwa ternyata industri multifinance masih kuat, dan mampu menjaga likuiditasnya. "Ternyata masih besar porsinya yang tidak melakukan restrukturisasi di perbankan. Ini membuat kita bahagia, karena debt to equity ratio [DER] kita juga masih di bawah 3 kali, padahal kita bisa meminjam 10 kali dari ekuitas. Ini menandakan bahwa ekuitas perusahaan pembiayaan masih strong," tambahnya.

Inilah kenapa ke depannya, APPI masih optimistis perusahaan pembiayaan masih sanggup bertahan, lewat efisiensi biaya, masih selektif memilih debitur, dan mampu mencari sumber dana yang lebih variatif.

Adapun, dari sisi potensi pembiayaan baru, Suwandi pun masih mengungkap ada perbaikan, kendati masih secara bertahap dan belum bisa menyamai nilai sebelum pandemi. Contohnya, dari potensi pembiayaan dari mobil baru yang pada 2021 berpotensi mencapai 800.000 unit.

"Ada market-nya pada 2021. Bank harus percaya kepada kita. Ini kita sedang bersama-sama, dibantu OJK, bersama-sama membuktikan bahwa market-nya ada, dengan kualitas kita yang semakin baik," tambahnya.

Namun demikian, Suwandi mengungkap ke depan bagi perusahaan yang kurang mampu, mau tidak mau memang harus mengambil jalan keluar lewat merger, bergabung, atau menawarkan diri ke investor lain. "Karena perusahaan pembiayaan memang harus memiliki kekuatan ekuitas. Karena kita di sektor keuangan ini tidak bisa hanya modal tanggung-tanggung, tidak akan bertahan di industri yang memang menghendaki kapital tinggi ini," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Ropesta Sitorus
Terkini