Bisnis.com, JAKARTA - Integrasi data di antara para pelaku teknologi finansial (tekfin/fintech) merupakan masa depan ekosistem digital di Indonesia, bahkan terbukti telah memberikan dampak nyata selama pandemi Covid-19.
Sebut saja, di antaranya, membantu pendataan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), mempercepat mekanisme credit scoring buat mereka, dan akhirnya berperan besar dalam percepatan penyaluran permodalan.
Karaniya Dharmasaputra, Co-Founder & CEO Bareksa sekaligus Presdir OVO, mengungkapkan bahwa penyaluran bantuan sosial, merupakan salah satu kisah yang membuktikan bahwa data dari fintech telah berdampak besar buat Indonesia.
"Kita paham bahwa dalam sejarah bantuan sosial, kita menghadapi intermediary issue, middle-man issue, yakni selalu bagaimana kita memvalidasi (data penerima bantuan). Tapi dengan fintech, kita sudah bisa mengatasi ini," ujarnya dalam Indonesia Fintech Summit dan Pekan Fintech Nasional 2020, Rabu (11/11/2020).
Dengan adanya fintech, khususnya peer-to-peer lending (P2P lending) dan e-commerce dalam memvalidasi para UMKM, serta pemanfaatan fintech pembayaran atau digital banking untuk mengirimkan dana secara langsung, akhirnya mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyaluran bantuan sosial.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sekaligus Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi menjelaskan integrasi data dengan fintech lain, terutama terkait credit scoring, begitu penting buat fintech P2P lending.
"Salah satu kelebihan yang fintech punya adalah bagaimana kita menggunakan credit scoring alternatif untuk membuat assessment kelayakan penyaluran kredit terhadap UMKM," ujarnya.
Adrian menggambarkan bahwa ini kreativitas dalam credit scoring ini merupakan salah satu kelebihan fintech, barangkali karena hal ini tidak pernah terpikir oleh lembaga keuangan konvensional.
Misalnya, data terkait bagaimana performa penjualan produk mereka di e-commerce, data apakah UMKM tersebut pernah masuk dalam pengadaan pemerintah, dan lain sebagainya.
Mewakili platform marketplace Tokopedia yang mengembangkan alternative credit scoring bertajuk TokoScore, Herman Widjaja menjelaskan bahwa data yang digunakan sebagai dasar penilaian kelayakan calon debitur ini bermacam-macam, bahkan berupa 'hal-hal remeh' yang mungkin terpikirkan oleh semua orang.
Misalnya, jika sebuah toko memiliki kulkas 'minuman bermerek' berarti dia setidaknya dipercaya oleh perusahaan tersebut. Contoh lainnya yakni jika sebuah rumah makan bersih, bisa diartikan bahwa orang tersebut menjaga aset dan bertanggung jawab pada pinjamannya.
"Kalau dia selaku pembeli, kita bisa melihat aktivitasnya dalam berbelanja. Kalau dia mitra atau merchant, kita bisa lihat bagaimana dia melayani pembelinya, berapa transaksinya, apa saja transaksi yang dia lakukan," ujarnya.
Credit scoring seperti inilah yang diharapkan mampu memvalidasi bagaimana aktivitas calon debitur atau borrower tersebut di platform toko online, yang bermanfaat untuk platform lending atau pendana tradisional seperti perbankan, untuk menyalurkan dana lebih cepat, murah, dan tepat sasaran.
Adapun, Ketua Umum Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) Ronald Yusuf Wijaya lebih menekankan bahwa data dan aktivitas bisnis fintech bukan hanya ada di ranah komersial, namun juga bisa berperan untuk sarana sosial.
Misalnya, dalam P2P lending syariah, ada penyaluran berprinsip qardhul hasan atau pinjaman kebajikan yang tidak berbunga dan tidak berorientasi profit. Hal ini bisa menjadi recovery fund yang membantu pemulihan ekonomi UMKM yang tercatat tengah dalam masa krisis, untuk bangkit dari pandemi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel