Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur atau RDG pada Kamis, 19 November 2020. Para ekonom memperkirakan RDG BI pada periode November ini akan tetap mempertahankan suku bunga acuan pada level 4 persen.
Kepala Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardhana memperkirakan mengatakan jika melihat kondisi makro ekonomi dalam jangka pendek, ruang penurunan suku bunga masih terbuka.
Namun, Wisnu memandang kondisi ekonomi saat ini sudah berada dalam jalur perbaikan dan akan terus berlajut secara bertahap. Untuk itu, menurutnya, suku bunga acuan harus tetap di pertahankan di 4 persen.
"Jika melihat forward looking, dengan optimisme bahwa kondisi akan membaik secara gradual, maka sebaiknya [suku bunga acuan] dipertahankan," katanya kepada Bisnis, Rabu (18/11/2020).
Senada, Peneliti Ekonomi Senior Institut Kajian Strategis (IKS) Eric Alexander Sugandi memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga di angka 4 persen meski masih ada ruang penurunan karena inflasi yang rendah dan rupiah dalam posisi stabil dan cenderung menguat.
Pasalnya, menurut Eric, penurunan suku bunga acuan lebih lanjut tidak akan berdampak banyak dalam mendorong pertumbuhan kredit perbankan.
"Penurunan BI 7-Day Reverse Repo Rate lebih lanjut tidak banyak manfaatnya untuk pertumbuhan kredit karena permasalahan utama kredit perbankan ada di sisi permintaan yang masih lemah," jelasnya.
Adapun, belum lama ini, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa ruang penurunan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) masih terbuka. Penurunan suku bunga acuan akan diputuskan di RDG pada November ini, dengan mempertimbangkan perkembangan kondisi ekonomi domestik dan global.
"Ke depan ada ruang untuk penurunan suku bunga, tentu saja kami akan pantau perkembangan ekonomi global dan domestik, untuk kami putuskan di rapat dewan gubernur," katanya dalam rapat kerja bersama dengan DPR RI Komisi XI, Kamis (12/11/2020).
Pada kesempatan yang berbeda, Wakil Direktur Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto berpendapat bahwa dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, BI tidak dapat melakukan ekspansi moneter secara besar-besaran. Hal ini dikarenakan kondisi nilai tukar rupiah yang masih fluktiatif, meski belakangan ini rupiah cenderung stabil, bahkan menguat.
Menurut Eko, nilai tukar rupiah ke depan masih berisiko, tercermin juga dari tingkat imbal hasil surat berhaga negara (SBN) yang dinilai masih tinggi. Satu-satunya kunci yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko tersebut adalah penanganan pandemi Covid-19.
"Untuk mengurangi tensi fluktuatif, tidak bisa ekspansi kencang di sektor moneter. Harapannya kita berusaha bagaimana bisa mengatasi pandemi," jelasnya, Rabu (18/11/2020).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel