Parlemen Thailand Akhirnya Dukung Amendemen Konstitusi, Tapi..

Bisnis.com,19 Nov 2020, 06:43 WIB
Penulis: John Andhi Oktaveri
Para pedemo pro-demokrasi memadati jalan saat aksi protes antipemerintah, pada peringatan 47 tahun pemberontakan mahasiswa tahun 1973, di Bangkok, Thailand, Rabu (14/10/2020)./Antara-Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Parlemen Thailand akhirnya mendukung amendemen konstitusi. Kendati begitu, parlemen tidak mendukung reformasi monarki di tengah meningkatnya protes terhadap pemerintah yang didukung militer negara itu.

Sebuah gerakan yang dipimpin pemuda telah mengadakan demonstrasi rutin selama lima bulan terakhir. Mereka menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha yang merebut kekuasaan dalam kudeta militer pada 2014. Sebelumnya, militer membubarkan parlemen yang mengubah konstitusi sehingga memperkuat kekuasaan militer.

Para pengunjuk rasa juga telah melanggar larangan yang telah lama berlaku dan berisiko hukuman penjara dengan menyerukan reformasi monarki untuk mengekang kekuasaan Raja dan memastikan dia bertanggung jawab terhadap konstitusi. Gerakan ini merupakan tantangan terbesar sejak pembentukan negara itu.

Gerakan untuk membuka jalan bagi reformasi peran monarki hanya disetujui 212 suara dari parlemen gabungan sebanyak 732 anggota seperti dikutip CNN.com, Kamis (19/11/2020). Putusan itu membutuhkan setidaknya setengah suara dan setidaknya sepertiga dari suara Senat untuk disetujui.

Akan tetapi dua mosi lainnya menandai langkah pertama menuju revisi undang-undang yang disusun militer. Sebuah komite perumus akan dibentuk setelah tuntutan itu didukung oleh Raja Maha Vajiralongkorn.

Pemerintah Thailand telah mencoba untuk meredakan kemarahan para pengunjuk rasa dengan mengisyaratkan kesediaan untuk berkompromi dengan konstitusi dan menemukan solusinya. Dengan demikian membuat parlemen di bawah tekanan untuk mendukung amendemen tersebut.

Reformasi monarki adalah tuntutan kunci lain dari gerakan protes yang meyakini institusi kerajaan terlalu kuat dan kurang akuntabilitas selama ini.

Sidang parlemen Thailand merupakan upaya pemerintahan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha untuk mengambil inisiatif menjauh dari gerakan pro-demokrasi. Mereka menuduh bahwa Prayuth mendapatkan tampuk kekuasaan secara tidak adil dalam pemilu tahun lalu karena undang-undang telah diubah untuk mendukung partai pro-militer. Para pengunjuk rasa juga mengatakan konstitusi, yang ditulis dan diberlakukan di bawah pemerintahan militer, tidak demokratis.

Konstitusi yang disahkan pada 2017 menekankan tentang pembagian politik dan korupsi. Salah satu pembahasannya keanggotaan Senat pada dasarnya akan ditentukan oleh militer dan memberikan para jenderal kekuasan untuk menentukan 250 kursi tersebut.

Pembaruan itu yang akhirnya membuat dukungan pada Prayuth tetap kuat karena parlemen yang menentukan pengisi jabatan perdana menteri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Oktaviano DB Hana
Terkini