Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Dominasi Adopsi Teknologi 4.0

Bisnis.com,25 Nov 2020, 15:45 WIB
Penulis: Andi M. Arief
Pabrik Surfaktan. Tahun ini, Petrokimia Gresik berhasil menghasilkan produk baru, Methyl Ester Sulfonate (MES). MES Petrokimia Gresik ini dikembangkan bersama dengan Surfactant Bioenergy Research Centre Institut Pertanian Bogor (SBRC IPB). /Petrokimia Gresik

Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memberikan penghargaan pada 13 pabrik yang telah mengadopsi teknologi 4.0.

Adapun, 8 dari 13 pabrik tersebut merupakan binaan Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT). 

Direktur Jenderal IKFT Kemenperin Muhammad Khayam mengatakan kedelapan pabrik tersebut telah memiliki  angka Indonesia Industry 4.0 Index (INDI 4.0) lebih dari 3,0.

INDI 4.0 memiliki skala 0-4 dengan skala 4 menandakan sebuah pabrikan telah mengaplikasikan industri 4.0, sedangkan skala 0 menandakan sebuah pabrikan belum siap sama sekali untuk masuk era industri 4.0. 

"[Target INDI 4.0 IKFT tahun ini] sudah tercapai karena kemarin kami menetapkan targetnya rendah. Tapi, kami akan coba untuk meningkatkan lagi tunk target tahun depan supaya kami lebih terpacu lagi," kata Khayam usai 'Conference and Award Industri 4.0', Rabu (25/11/2020). 

Khayam menargetkan setidaknya dapat membina 16 pabrik untuk menembus angka 3,0 pada skala INDI 4.0. Menurutnya, hal tersebut memungkinkan lantaran industi kimia merupakan salah satu sektor manufaktur yang lebih dulu masuk pada era industri 3.0.

Seperti diketahui, revolusi industri 2.0 merupakan era industri yang memfokuskan pada produksi masal. Sebaliknya, revolusi industri 3.0 memiliki fokus pada otomatisasi untuk mengurangi biaya produksi. 

Khayam menjelaskan industri kimia cepat memasuki revolusi industri 3.0 karena banyak tahapan produksi yang sulit untuk dilakukan manusia. Alhasil, otomatisasi menjadi jawaban agar proses produksi lebih aman. 

Walakin, Khayam mengatakan akan mengarahkan pabrikan untuk mengadopsi teknologi revolusi industri 4.0 tanpa mengurangi tenaga kerja. Artinya, penggunaan teknologi yang akan didorong adalah yang dapat memecahkan bottleneck dalam proses produksi. 

"Kami juga tidak menginginkan mereka harus mengeluarkan investasi yang terlalu besar [dan membuat berat arus kas]." ucapnya. 

Di sisi lain, Khayam menyatakan telah ada investasi di pipeline industri kimia senilai Rp500 triliun. Adapun, pandemi Covid-19 membuat realisasi investasi tersebut mundur selama 12 bulan dan baru akan dimulai pada 2021. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Amanda Kusumawardhani
Terkini