Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi atau MK menilai bahwa perlu terdapat penyamaan persepsi antara pengertian suretyship dan surety bond untuk melihat perbedaan esensial antara penjaminan dan asuransi.
Hakim MK Suhartoyo menjelaskan hal tersebut saat membacakan Putusan Sidang Perkara No.5/PUU-XVIII/2020, Rabu (25/11/2020) dengan pemohon Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI). MK menolak permohonan AAUI untuk seluruhnya terkait uji materiil (judicial review) Undang-Undang 40/2014 tentang Perasuransian.
Sebelumnya, AAUI mengajukan uji materiil agar lini bisnis penjaminan atau suretyship yang dijalankan perusahaan asuransi bisa memiliki landasan hukum secara khusus dalam UU Perasuransian. Namun, MK menetapkan bahwa tidak perlu penambahan poin khusus terkait penjaminan di undang-undang tersebut dan bisnis suretyship dapat berjalan seperti yang sudah ada.
Namun demikian, Suhartoyo menjelaskan pandangan MK bahwa perlu adanya penyamaan persepsi antara pengertian suretyship atau surety bond. Perbedaan persepsi itu dinilai turut menyebabkan adanya kekhawatiran atas legalitas penjualan polis penjaminan oleh perusahaan asuransi.
"Berdasarkan fakta hukum persidangan, suretyship adalah istilah yang digunakan untuk salah satu jenis usaha yang bersifat generik, sedangkan surety bond adalah jenis produknya," ujar Suhartoyo saat membacakan putusan sidang perkara itu, Rabu (26/11/2020).
Dia menjabarkan bahwa pengertian suretyship adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan obligee. Sementara itu, ruang lingkup penjaminan adalah jenis bidang usaha yang berkaitan dengan kegiatan pemberian jaminan oleh penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial terjamin kepada penerima jaminan.
MK berpandangan bahwa di dalam lembaga penjamin terdapat tiga pihak, yakni penjamin, terjamin, dan penerima jaminan. Suhartoyo mengilustrasikan bahwa jika dalam sebuah perjanjian antara kreditur dengan debitur terjadi wanprestasi, maka penjamin (surety) akan mendudukkan diri bersama-sama dengan pihak yang dijamin untuk memenuhi prestasi yang diperjanjikan.
Hal itu pun dapat terjadi di perusahaan asuransi yang menjalankan usaha suretyship atau surety bond. Namun, MK berpandangan bahwa pada hakikatnya hubungan hukum di perusahaan asuransi hanya terdiri dari dua pihak, yakni tertanggung dan perusahaan asuransi.
"Namun demikian bukan berarti perusahaan asuransi tidak dapat menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond, karena secara empirik di Indonesia sebenarnya perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond telah banyak, dan hal tersebut sesungguhnya perusahaan asuransi menjalankan fungsi lini usaha yang sedikit berbeda dengan core business yang dimilikinya," ujar Suhartoyo.
MK pun telah melakukan telaah perjalanan historis produk suretyship atau surety bond dan menemukan bahwa bisnis lini usaha itu telah berjalan kurang lebih 42 tahun. Meskipun, secara faktual izin bagi industri asuransi umum baru diberikan oleh Kementerian Keuangan setelah berlakunya Undang-Undang 2/1992 tentang Usaha Perasuransian.
"Dengan demikian asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond telah mendapat pengakuan dan juga kesempatan untuk dijalankan oleh perusahaan asuransi kerugian [umum] hingga saat ini," ujarnya.
MK menyatakan bahwa bahwa setelah mencermati dalil AAUI sebagai pemohon judicial review, kekhawatiran soal pasal yang berpotensi jadi multitafsir dinilai yang tidak tepat. Menurut MK, suretyship sebagai kegiatan yang mempunyai core business penjaminan juga dapat dijalankan oleh perusahaan asuransi. Sebagai pelaksanaan amanat UU 40/2014 pun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) 69/2016 yang memberikan kesempatan perusahaan asuransi menjalankan lini usaha suretyship.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel