Program JKP Dinilai Hanya Solusi Jangka Pendek Masalah Ketenagakerjaan

Bisnis.com,26 Nov 2020, 19:35 WIB
Penulis: Wibi Pangestu Pratama
Karyawan melintas di dekat logo BPJS Ketenagakerjaan/BP Jamsostek di Jakarta. Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA — Program jaminan kehilangan pekerjaan atau JKP yang ada dalam Undang-Undang Cipta Kerja dinilai hanya solusi jangka pendek dari masalah ketenagakerjaan. Diperlukan jaminan sosial yang lebih menguntungkan pekerja dan memberikan kepastian bagi pemberi kerja.

Anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati menjelaskan bahwa keberlangsungan program jaminan sosial menjadi sorotan saat pemerintah menetapkan Undang-Undang Cipta Kerja. Hal tersebut karena pendanaan program JKP dinilai tidak memberikan ketahanan bagi jaminan sosial ketenagakerjaan.

Kurniasih menjabarkan bahwa Pasal 46C Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mengatur pemerintah yang membayar iuran JKP. Namun, pembayaran itu tidak semata-mata berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), karena suntikan kas negara Rp6 triliun hanya merupakan modal awal.

"Sumber dananya, dalam Pasal 46E justru dari rekomposisi iuran jaminan sosial. Bisa juga dari dana operasional BPJS Ketenagakerjaan, tapi adanya rekomposisi bisa mengurangi manfaat bagi peserta karena dialihkan untuk membayar [jaminan manfaat] JKP," ujar Kurniasih dalam gelaran webinar Dewas Menyapa Indonesia, Kamis (26/11/2020).

Dirinya mengkhawatirkan mekanisme pembiayaan JKP tersebut karena berpotensi membebani dua hal. Pertama, kas negara, karena struktur APBN sangat kesulitan di tengah pandemi Covid-19, seperti untuk membayar sejumlah urang, peningkatan anggaran jaring pengaman sosial, hingga anggaran penanganan penyebaran virus corona.

Kedua, mekanisme pembiayaan itu dikhawatirkan mengganggu kesehatan dan keberlangsungan dana jaminan sosial karena adanya kewajiban rekomposisi. Padahal, ketahanan dana jaminan sosial menjadi kunci untuk perlindungan masyarakat, khususnya para pekerja dalam konteks Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

"Apalagi pandemi Covid-19 ini APBN berat, bunga tinggi, beban tinggi, harus hati-hati," ujarnya.

Hal serupa pun disampaikan oleh Ketua Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan Guntur Witjaksono. Menurutnya, JKP memiliki konsep asuransi sosial yang dilengkapi sumbangan dari pemerintah, tetapi tidak ada iuran yang dibebankan kepada pekerja atau pemberi kerja.

Dia menilai bahwa beban pembiayaan bisa jadi dibebankan ke program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) yang rasio klaimnya masih rendah. Namun, hal tersebut berpotensi mengurangi manfaat yang akan diterima pekerja.

"JKP ini tidak bisa terlalu loyal untuk waktu yang lama, harus dipertimbangkan keberlangsungannya," ujar Guntur.

Ketua Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Harijanto pun menyampaikan hal senada. Menurutnya, perlu terdapat skema jaminan sosial unemployement benefit yang dapat meyakinkan investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Harijanto menilai bahwa besarnya kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi salah satu penghambat minat investor untuk masuk ke Indonesia. Namun, keberadaan JKP yang membagi 'beban' pesangon ke BPJS Ketenagakerjaan pun tidak serta merta menyelesaikan masalah itu.

"JKP ini hanya solusi jangka pendek, mungkin dua, tiga, lima tahun. Setelah itu perlu ada skema yang lebih menguntungkan, baik bagi pekerja, pemberi kerja, juga investor," ujar Harijanto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Ropesta Sitorus
Terkini