Penurunan Suku Bunga Kredit, Efektifkah Dorong Ekonomi?

Bisnis.com,27 Nov 2020, 06:00 WIB
Penulis: M. Richard
Karyawan merapikan uang di cash center Bank BNI, Jakarta, Selasa (11/2/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Suku bunga kredit perbankan menjadi salah satu indikator penting untuk pertumbuhan ekonomi nasional.

Meski sudah mulai berada di bawah 10 persen, banyak pihak masih berharap suku bunga kredit kembali turun agar pemulihan ekonomi nasional dapat lebih cepat, khususnya pada akhir tahun ini.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), suku bunga kredit modal kerja pada Agustus 2020 mencapai 9,44 persen turun dari Januari 2020 yang masih 10,13 persen. Kredit investasi pun tercatat berada pada posisi 9,16 persen, turun dari Januari tahun ini yang sebesar 9,87 persen.

Bank Indonesia sebelumnya pernah menyinggung soal suku bunga kredit. Gubernur BI Perry Warjiyo menuturkan pihaknya sudah cukup akomodatif dengan penurunan suku bunga acuan sekaligus penggelontoran likuditas ke pasar melalui quantitative easing.

Namun, pertumbuhan kredit masih sangat lamban dan perbankan masih cenderung menahan suku bunga kreditnya.

Dia melanjutkan kinerja ekonomi sudah mulai membaik pada akhir tahun ini. BI melihat sudah mulai banyak perbaikan kinerja, khususnya dari segmen korporasi.

Lagi pula dia berpendapat, perbankan sudah mulai menikmati banyak keringanan dari sisi biaya dana atau cost of fund dan beban administrasi kredit.

Petugas teller menata uang rupiah di salah satu cabang Bank Mandiri di Jakarta, Rabu (19/2/2020). Bisnis/Arief Hermawan P

"Hanya saja, persepsi risiko kredit perbankan memang masih sangat tinggi, sehingga bunga kredit belum turun [signifikan]," katanya usai RDG BI, Kamis (19/11/2020)..

Adapun, Bank Indonesia mengumumkan pertumbuhan kredit perbankan sudah mulai tumbuh negatif pada awal kuartal keempat tahun ini.

Pertumbuhan kredit pada Oktober 2020 terkontraksi 0,47 persen secara tahunan. Tren ini terjungkal dari September 2020 yang masih mampu tumbuh tipis 0,12 persen secara tahunan.

Meski demikian, BI pun mengapresiasi stabilitas sistem keuangan yang tetap terjaga.

Rasio kecukupan modal perbankan pada akhir kuartal ketiga tahun ini berada pada 23,41 persen, sedangkan rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) tetap rendah 3,15 persen.

Jika merunut ke belakang, permintaan turunnya suku bunga kredit pun penah disuarakan oleh Presiden Joko Widodo pada akhir tahun lalu.

"Saya mengajak untuk memikirkan secara serius untuk menurunkan suku bunga kredit. Negara lain sudah turun, turun, turun, kita BI-rate sudah turun, bank-nya belum," kata Jokowi.

Bagai abu di atas tanggul. Kondisi ekonomi di tengah pandemi memang sangat sulit begitu pula bank-bank Tanah Air.

Selama masa pandemi, relaksasi yang diberikan perbankan tampak amat besar dengan restrukturisasi kredit mencapai Rp1.000 triliun. Keringanan ini, tak lain dan tak bukan telah memangkas pendapatan perbankan di Indonesia.

Jika menyelisik lebih dalam, margin perbankan tergolong tertekan dengan penurunan suku bunga dan relaksasi restrukturisasi kredit tahun ini.

Margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) awal tahun masih 4,96 persen, turun menjadi 4,43 persen pada Agustus tahun ini.

Bahkan, laba bersih bank perbankan tahun ini diproyeksikan bisa terpangkas hingga 40 persen dari pencapaian tahun lalu.

Lagi pula, penurunan bunga kredit tak akan serta merta meningkatkan keinginan masyarakat untuk mengambil fasilitas baru.

Pasalnya, di tengah ketidakpastian yang tinggi, pelaku usaha lebih cenderung melakukan pelunasan kredit, sekaligus menempatkan belanja modal kerjanya pada simpanan berjangka.

Nasabah individu pun lebih memilih menggunakan tabungan untuk melanjutkan konsumsi sambil menahan ketimbang untuk menggunakan fasilitas kredit perbankan.

Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan perbankan adalah intermediator yang mengikuti kinerja ekonomi.

Dia berpendapat, ekspektasi untuk menggenjot kinerja ekonomi melalui perbankan merupakan persepsi yang keliru. Harusnya pemerintah lebih fokus pada insentif fiskal untuk mendongkrak kinerja ekonomi.

Perbankan dengan sendirinya akan mengikuti perkembangan ekonomi yang berkualitas dengan kembali menurunkan suku bunga kreditnya.

"Suku bunga kredit bukan isu saat ini. Kalau mau mendongkrak ekonomi, gunakan subsidi pemerintah untuk menggerakkan industri, ketimbang harus bergantung pada perbankan," sebutnya.

Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja/Dokumen BCA

Senada, Ekonom senior Indef, yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani pun berpendapat penempatan dana yang ekspansif pada perbankan tidak tepat, baik untuk menjaga kestabilan perbankan maupun pemulihan ekonomi nasional.

Bagi perbankan, dia menyebutkan dana pemerintah diawasi sangat ketat khususnya oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sehingga penyalurannya akan sangat hati-hati sambil tetap menjaga tingkat marginnya. Di samping itu, perbankan saat ini sudah tergolong sangat likuid bahkan sebelum masa pandemi tahun ini.

Bagi ekonomi riil, dia menyebutkan penempatan dana ini justru memperlambat pemulihan pelaku usaha. Beban bunga kredit justru masih akan menjadi pertimbangan pelaku usaha untuk mengambil pinjaman baru di masa ekonomi lesu tahun ini.

Jika ada penyaluran kredit dari bank mitra pun hanya dalam bentuk kanibalisme yang sebenarnya hanya akuisisi debitur lama dari bank lain sehingga tak mendongkrak fungsi intermediasi bank secara nasional.

"Memang seharusnya lebih banyak belanja pemerintah yang dilemparkan melalui pemberian insentif baik keringanan pajak maupun alokasi dana sosial untuk meningkatkan konsumsi masyarakat. Bank pun akan follow insentifnya," tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Sulistyo Rini
Terkini