Multifinance Tepis Asumsi Sulitnya Raih Pendanaan pada 2021

Bisnis.com,29 Nov 2020, 12:57 WIB
Penulis: Aziz Rahardyan
Karyawan melayani nasabah di Kantor Mandiri Tunas Finance, Jakarta, Jumat (25/9/2020)./Bisnis-Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan pembiayaan (multifinance) meyakini mampu menepis asumsi sulitnya mencari sumber pendanaan pada tahun depan.

Asumsi ini mencuat akibat belum menentunya kondisi perekonomian selepas pandemi Covid-19 serta dampak kebijakan perpanjangan restrukturisasi perbankan, yang merupakan sumber modal utama multifinance dalam menjalankan bisnisnya.

Selain itu, multifinance masih dianggap sebagai segmen bisnis yang berisiko akibat masih tingginya tingkat kredit bermasalah atau Non Performing Financing (NPF) dari portfolio nasabahnya.

Sekadar informasi, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per September 2020, total pendanaan yang diterima multifinance sebesar Rp294,4 triliun. Porsinya terbagi menjadi Rp145,93 triliun dari pinjaman dalam negeri (46,92 persen), dari pinjaman luar negeri Rp104,3 triliun (33,56 persen), dan dari penerbitan surat berharga Rp60,7 triliun (19,52 persen).

Dominasi terbesar masih diraih pendanaan bank dalam negeri sebesar Rp138,9 triliun, disusul pendanaan dari bank luar negeri senilai Rp88,3 triliun. Sisanya, dari lembaga keuangan bukan bank dan pendanaan lembaga lain, baik dalam maupun luar negeri.

Sebagai perusahaan yang tak terafiliasi dengan perbankan, PT BFI Finance Indonesia Tbk. (BFI Finance) yakin investor masih memandang bahwa setiap multifinance berbeda dan punya prospek cerah apabila perekonomian bangkit.

Finance Director BFI Finance Sudjono menyatakan dari sisi perusahaannya sendiri, penyaluran pembiayaan baru mulai bangkit. Bahkan, terjadi kenaikan 2 kali lipat pada Agustus 2020 dibanding bulan sebelumnya, walaupun nilainya masih dibawah kondisi prapandemi.

"Saya rasa masalah yang terjadi di perusahaan pembiayaan hampir sama dengan masalah yang terjadi di perbankan dan sektor non keuangan lain, properti, ritel, dan lainnya. Selama ekonomi tidak tumbuh, pasti tetap sulit," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (29/11/2020).

NPF pun membaik sejalan dengan NPF industri, dengan target berangsur-angsur membaik ke kondisi normal di kisaran 1 persen. Pasalnya, NPF emiten berkode BFIN ini sebelumnya sempat menyentuh angka 3,7 persen pada akhir Juni 2020.

"Makanya, kami tidak khawatir terhadap pendanaan pada 2021. Karena selama perusahaan dapat menjaga likuiditas dan tingkat kesehatan keuangan, beroperasi secara prudent, dan berhati-hati, maka bank dan lembaga keuangan lain akan tetap mendukung sumber pendanaan perusahaan," tambah Sudjono.

Inilah yang membuat BFIN masih mampu menggandeng para pendana di era pandemi, seperti PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) dalam pendanaan bersama untuk penyaluran kredit kendaraan dengan limit fasilitas mencapai Rp1 triliun dan Bank Jago senilai Rp150 miliar pada awal Agustus.

BFIN pun memperoleh dukungan fasilitas kredit dari perbankan dalam dan luar negeri, baik fasilitas bilateral maupun sindikasi, serta emisi obligasi yang akan digunakan untuk mendukung kegiatan usaha pembiayaan pada kuartal IV/2020 dan untuk tahun depan.

Adapun, PT Mandiri Tunas Finance (MTF) menjelaskan kemudahan pendanaan didapat bukan hanya karena pihaknya merupakan anak perusahaan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., tetapi juga dampak bangkitnya permintaan pembiayaan baru terhadap perbaikan NPF perusahaan.

Terutama, kredit roda empat baru yang masih menjadi penopang MTF. Sebelum pandemi, nilainya berkisar di angka Rp2,4 triliun dan ketika pandemi turun drastis menjadi di bawah Rp1 triliun.

Namun, nilainya sudah beranjak ke Rp992 miliar pada Juli 2020, dan naik lagi pada Agustus menjadi di atas Rp1,1 triliun.

Direktur Keuangan MTF Armendra menuturkan tinggal bagaimana multifinance tersebut menjaga aspek likuiditasnya, karena hal ini selalu menjadi faktor pertimbangan bank dalam membantu pendanaan.

"Sepanjang perusahaan pembiayaan dapat menyakinkan bank bahwa perpanjangan restrukturisasi tidak mengganggu aspek likuiditas, dan memang perlu diyakinkan perpanjangan restrukturisasi dilakukan lebih selektif eligible," jelasnya kepada Bisnis.

Di sisi lain, NPF MTF sempat mencapai puncak tertinggi, yakni 3 persen, pada Juli. Namun, rasionya menurun ke 2 persen pada bulan berikutnya, dan pada akhir September kembali turun ke kisaran 1,6 persen.

Pada akhir tahun ini, NPF diproyeksi kembali membaik ke 1,2 persen. 

"Terpenting, strategi yang kami fokuskan pada 2020 ini adalah finish strong dan memastikan lanjut 2021 dengan langkah yang lebih ajeg, likuiditas yang lebih kuat, dan profitabilitas yang kembali tumbuh," lanjut Armendra.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Margrit
Terkini