Bisnis.com, JAKARTA - Strategi yang lebih berhati-hati dan konservatif perlu diutamakan bagi industri asuransi, di tengah ketidakpastian yang masih menyelimuti kondisi pasar modal.
Hal ini diungkapkan oleh Pengamat asuransi dan pengajar Sekolah Tinggi Asuransi Trisakti, Azuarini Diah menanggapi fenomena turunnya kinerja pasar modal yang berimbas pada penurunan nilai investasi industri asuransi.
"Sekarang ini perusahaan asuransi harus fokus perhatikan kondisi likuiditas, buat forecast keberlanjutan usaha hingga setahun ke depan, tunda pengeluaran untuk belanja modal yang menguras dana besar. Terakhir, tentunya pertahankan kelangsungan usaha, supaya jangan sampai bangkrut yang bisa memicu pemutusan hubungan kerja," ujarnya kepada Bisnis, Senin (30/11/2020).
Menurutnya, industri memang tampak telah lebih berhati-hati menghadapi penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sejak awal tahun.
Buktinya, data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menunjukkan adanya penurunan porsi investasi di saham dari sebelumnya 37 persen menjadi hanya 24,8 persen saja. Sedangkan reksa dana turun jadi 33 persen dari sebelumnya 34 persen.
Azuarini menambahkan bahwa kendati pasar modal masih fluktuatif, sisi optimis tetap ada. Sehingga, industri baiknya mempersiapkan momentum tersebut dengan produk yang relevan dan infrastruktur digital yang mumpuni.
Hal ini menilik pengembangan vaksin Covid-19 dan dimulainya kembali aktivitas perekenomian dan bisnis, akan memberikan dukungan bagi ekonomi dunia dan pasar modal yang diperkirakan akan kembali tumbuh pesat di tahun 2021, tak terkecuali buat Indonesia.
"Maka, pertahankan hubungan dengan customer dengan promosi tepat guna yang disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan saat ini. Selain itu, terapkan Pemasaran yang kreatif serta strategi yang paling tepat agar penjualan tetap mencapai target dan terakhir, optimalkan penjualan via digital atau layanan dibalut teknologi," sambungnya.
Azuarini pun mengingatkan agar perusahaan asuransi, terutama asuransi jiwa, berhati-hati dalam memasarkan Produk Asuransi Yang Disertai Investasi (PAYDI) atau unit-linked di tengah kondisi seperti ini.
"Karena masih banyak kasus terkait pemahaman produk unit-linked dari sisi pembeli yang tidak terlalu menguasai aspek investasi, masyarakat kerap belum memahami risiko investasi dari produk tersebut. Terlebih, saat investasinya ditempatkan di instrumen pasar modal yang berisiko tinggi. Jadi, perlunya edukasi dan penjelasan pada saat pembelian dengan secara detail," tutupnya.
Sekadar informasi, berdasarkan data OJK per Oktober 2020, nilai investasi asuransi komersial tercatat turun turun 3,8 persen (year-on-year/yoy) di angka Rp546,9 triliun, dari periode Oktober 2019 di angka Rp568,3 triliun.
Penurunan nilai investasi pada asuransi jiwa, yang merupakan segmen penjual PAYDI, bahkan mencapai 5,1 persen (yoy) karena hanya berada di angka Rp452,69 triliun, dari sebelumnya Rp477,23 triliun per Oktober 2019.
Adapun berdasarkan data AAJI, pendapatan hasil investasi hingga Q3/2020 turun 252,8 persen (yoy) menjadi minus (-) Rp17,57 triliun dari periode yang sama di tahun sebelumnya Rp11,50 triliun.
Sepanjang 2020 sendiri, hasil investasi asuransi jiwa sempat anjlok hingga minus (-) Rp47,85 triliun di Q1/2020, berlanjut Rp26,23 triliun pada Q2/2020, dan bertahan positif walaupun turun pada Q3/2020 di angka Rp4,05 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel