Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan ada tujuh poin penting terkait regulasi baru untuk penyelenggara teknologi finansial peer-to-peer lending (fintech P2P lending).
Anggota Dewan Komisioner merangkap Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK Riswinandi menjelaskan hal ini akan terangkum dalam rencana revisi Peraturan OJK 77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
"Beberapa poin penting aturan di RPOJK baru. Pertama, penghapusan status pendaftaran, hanya perizinan. Kami minta yang terdaftar beroperasi untuk mengajukan izin, supaya tidak ragu-ragu lagi. Terdaftar beroperasi kita proses lagi," ujarnya dalam keterangannya kepada media, dikutip Senin (30/11/2020).
Seperti diketahui, sebelumnya dari 153 penyelenggara fintech lending resmi yang mendapat pengawasan OJK, statusnya terbagi dua yakni 36 perusahaan berizin dan 177 perusahaan terdaftar.
Ketentuan menyebutkan penyelenggara yang telah terdaftar di OJK wajib mengajukan permohonan izin sebagai penyelenggara dalam jangka waktu
paling lama 1 tahun sejak tanggal terdaftar di OJK, atau dinyatakan batal.
Terkini, sudah ada 8 penyelenggara yang mendapatkan pembatalan tanda terdaftar karena terlambat. Namun, masih ada 27 penyelenggara yang belum melewati masa jatuh tempo 1 tahun.
Adapun, tercatat 16 perusahaan telah mencapai proses pemenuhan kelengkapan dokumen, 30 sudah mencapai live demo dan site visit, dan sebanyak 44 penyelenggara mengulangi proses perizinan.
Ketentuan kedua, yaitu terkait peningkatan syarat modal disetor minimum untuk para penyelenggara. Paling sedikit sebesar Rp15 miliar pada saat perizinan, meningkat dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya sebesar Rp2,5 miliar.
Riswinandi menjelaskan bahwa hal ini demi mengurangi ketimpangan dari industri fintech lending, di mana tercatat 10 penyelenggara fintech P2P lending teratas berkontribusi hingga 61,68 persen dari pangsa outstanding pinjaman keseluruhan.
"Kontribusi industri hanya oleh beberapa pemain, yang lain penyaluran minim. Kekuatan tergantung masing-masing juga. Banyak yang belum berkembang karena masalah permodalan dan status likuiditas tergerus," jelasnya.
Ketiga, yakni ketentuan persyaratan ekuitas, di mana penyelenggara wajib memiliki ekuitas setiap saat 0,5 persen dari total pendanaan yang belum dilunasi (outstanding) atau sekurang-kurangnya Rp10 miliar.
Keempat, yaitu adanya fit & proper test bagi pengurus dan pemegang saham pengendali oleh OJK, sehubungan dengan komitmen mereka dalam pengelolaan bisnis.
Kelima, adanya kewajiban pinjaman ke sektor produktif dan luar Pulau Jawa. Menilik sektor produktif baru 35 persen dari total outstanding, sementara penyaluran ke luar jawa baru 14,4 persen.
Beleid RPOJK menyebutkan nantinya penyelenggara wajib memberikan pendanaan kepada sektor produktif paling sedikit 40 persen dari outstanding pembiayaannya secara bertahap dengan batas maksimal tiga tahun mendatang.
Adapun kewajiban jumlah pendanaan di luar Jawa sebagaimana dimaksud, ditetapkan paling sedikit 25 persen dari total pendanaan yang belum dilunasi (outstanding) secara tahunan, yang bertahap dengan batas hingga tiga tahun mendatang.
Keenam, yaitu penguatan ketentuan agar pemegang saham existing lebih berkomitmen dalam mendukung penyelenggaraan fintech P2P lending.
"Terutama terkait modal, ini penting karena yang terdaftar terlihat ketika tidak cukup, jadi negatif. Maka, yang sudah masuk berizin, kita melihat komitmen pemegang saham mereka tinggi," ungkapnya.
Terakhir, OJK menambahkan ketentuan penyelenggaraan prinsip syariah yang sebelumnya belum diatur. Hal ini demi melengkapi regulasi agar platform P2P lending syariah bisa beroperasi dengan lebih baik.
Adapun, hingga Oktober 2020, akumulasi penyaluran pinjaman fintech P2P lending telah mencapai Rp137,66 triliun, dengan outstanding Rp13,24 triliun dan penyaluran pinjaman baru Rp56,16 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel