HRD di Era Digital Harus Bisa Terbuka dengan Perubahan

Bisnis.com,10 Des 2020, 20:09 WIB
Penulis: Akbar Evandio
Karyawan melakukan aktivitas di pusat perkantoran, kawasan SCBD, Jakarta, Senin (8/6/2020). Pekan kedua masa pembatasan sosial berskala berskala besar (PSBB) transisi, Pemprov DKI Jakarta mulai memperbolehkan karyawan di perkantoran kembali bekerja dengan kapasitas karyawan hanya dibolehkan sebanyak 50 persen dari jumlah karyawan dalam satu ruangan. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaj

Bisnis.com, JAKARTA – Platform dagang elektronik, Bukalapak melihat bahwa tantangan human resources department (HRD) saat ini turut dituntut menjadi wadah yang dapat menampung aspirasi tenaga kerjanya.

Talent Development Lead Bukalapak, Hendra Etri Gunawan mengatakan bahwa saat ini hubungan antara perusahaan dan tenaga kerja, layaknya simbiosis mutualisme sehingga kedua sisi tersebut harus saling mengisi.

“Untuk dapat memenuhi kebutuhan pekerja, kami melakukan mandatory training dan collective mindset, alasannya kami membutuhkan orang-orang yang terbuka pada perubahan, karena mereka adalah yang agile untuk memajukan perusahaan,” katanya saat dihubungi Bisnis.com, Kamis (10/12/2020).

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa organisasi membutuhkan collective mindset untuk menghadapi segala dinamika yang ada ke depan.

Menurutnya, perusahaan yang tangguh dapat terbentuk jika setiap individu di dalamnya berfungsi sebagai motor penggerak. Maka, mereka harus diberi otonomi dan kepercayaan untuk menentukan arah kerja dan kontribusi bagi perusahaan.

Hendra melanjutkan bahwa ketangguhan perusahaan berkaitan dengan empat hal, yakni sumber daya manusia (SDM), budaya, sistem, dan teknologi. Adapun untuk sistem, dia mengatakan bahwa harus dibentuk sesederhana mungkin.

“Karena itu, HR Team Bukalapak berpikir untuk memudahkan segala urusan karyawan. Tidak terkecuali untuk generasi milenial,” katanya.

Dia mengatakan bahwa saat ini perusahaan juga dihadapkan untuk bisa memenuhi ekspektasi dari milenial. Pasalnya, generasi tersebut dinilai memiliki pandangan berbeda dalam dunia kerja.

“Mereka [milenial] hidup tidak untuk bekerja, tetapi untuk passion dan purpose. Untuk [perusahaan agar] bisa mendapatkannya harus bisa memenuhi ini. Mereka juga tidak mengenal work life balance. Namun, work life integration yakni mereka mengedepankan rasa profesionalitas mereka,” katanya.

Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa generasi tersebut melihat kantor bukan lagi dipandang sebagai rumah kedua, melainkan kehidupan kedua bagi karyawan.

“Kebijakan kompensasi, benefit, dan tata kelola tempat kerja yang diberikan perusahaan pun harus sampai pada paradigma ini,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Rio Sandy Pradana
Terkini