Ini Lima Sumber Laba Asuransi Jiwa, Didominasi Investasi dari Unit-Linked?

Bisnis.com,10 Des 2020, 19:18 WIB
Penulis: Wibi Pangestu Pratama
Karyawan berkomunikasi didekat logo beberapa perusahaan asuransi di kantor Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) di Jakarta, Selasa (15/1/2020). Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia atau AAJI menyatakan bahwa terdapat lima sumber laba dari bisnis asuransi jiwa. Pendapatan dari investasi menjadi salah satu penyumbang laba yang besar, tetapi industri mengedepankan pendapatan underwriting sebagai marwah asuransi.

Ketua Bidang Aktuaria dan Manajemen Risiko AAJI Fauzi Arfan industri asuransi memperoleh cuan dari pengelolaan investasi sejak lama. Investasi berperan besar terhadap perolehan laba karena dana kelolaan asuransi yang sangat besar. Terlebih, produk unit-linked terus menjadi primadona dari keseluruhan polis.

Dia menjabarkan bahwa terdapat lima sumber perolehan laba industri asuransi jiwa. Pertama, yakni laba underwriting yang berasal dari selisih pricing dengan realisasi klaim.

Menurut Fauzi, setiap perusahaan asuransi jiwa akan membuat asumsi klaim dari polis-polis yang ada berdasarkan banyak faktor. Laba diperoleh ketika realisasi klaim itu lebih kecil dari asumsi klaim yang dibuat, sehingga pricing yang ada menjadi bonafide.

"Ini bukan hanya berlaku untuk klaim meninggal dunia, tetapi juga untuk klaim kecelakaan, klaim kebakaran kalau di asuransi kerugian, semua ada pricing assumption. Menurut saya underwriting profit ini menjadi cita-cita perusahaan asuransi jiwa," ujar Fauzi kepada Bisnis, Kamis (10/12/2020).

Untuk mencatatkan laba underwriting, perusahaan asuransi harus menjual sebanyak mungkin proteksi. Oleh karena itu, berbagai strategi penjualan, termasuk relaksasi penjualan unit-linked secara langsung melalui sarana digital dapat menunjang perolehan laba itu.

Kedua, sumber laba berasal dari hasil investasi, yakni saat pricing suatu produk menghasilkan investasi di atas imbal hasil yang akan diberikan kepada nasabah. Dia mencontohkan laba itu diperoleh terutama di produk tradisional, seperti asuransi endowment dengan jangka waktu panjang.

Ketiga, adalah laba dari pengeluaran atau biaya, yakni ketika biaya aktual dalam pricing lebih kecil dari yang ada di dalam produknya. Seperti diketahui, setiap produk asuransi sudah memiliki komponen asumsi mortalitas dan berbagai biaya.

"Misalnya penutupan endowment 20 tahun, biayanya [asumsi] 35 persen, ternyata saya kasih komisi 15 persen, lain-lain 15 persen, [selisih] 5 persen ini jadi profit," ujarnya.

Keempat, berasal dari laba reasuransi, yang banyak diperoleh asuransi umum. Fauzi menjabarkan bahwa perusahaan asuransi akan menjual produk dengan tarif penutupan yang lebih tinggi dari reasuransi, spread dari nilai itu menjadi laba bagi perusahaan asuransi.

"Asuransi jiwa jarang mendapatkan reinsurance profit," ujar Fauzi.

Adapun, sumber laba kelima adalah management fee yang banyak diperoleh dari produk unit-linked, karena perusahaan asuransi mengelola investasi nasabah. Perolehan laba dari sumber ini cukup baik karena mayoritas portofolio asuransi jiwa adalah unit-linked, mencapai 63,9 persen dari total polis.

Fauzi menilai bahwa perolehan laba industri tidak didominasi dari investment profit, sumbernya beragam. Kalaupun perusahaan asuransi memperoleh laba yang besar dari investasi, hal tersebut tidak menjadi masalah asalkan tetap terdapat cuan dari hasil underwriting.

"Mungkin [perolehan laba dari investasi] yang enggak aman kalau produknya tradisional, dia menaruh di instrumen investasi yang berisiko," ujar Fauzi.

Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2A Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ahmad Nasrullah menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan riset terhadap laporan-laporan keuangan industri asuransi jiwa. Otoritas menemukan bahwa bottom line atau laba industri berasal dari perolehan investasi, bukan hasil underwriting.

"Bahkan di beberapa perusahaan ada subsidi silang, antara hasil underwriting [yang negatif] itu justru disubsidi oleh hasil investasi. Hal yang ingin saya tekankan di sini pentingnya pengelolaan aset asuransi dalam hal investasi," ujar Nasrullah pada Kamis (10/12/2020).

Dia menilai bahwa perusahaan yang bergantung kepada hasil investasi harus memastikan bahwa kualitas pengelolaan asetnya itu memenuhi prinsip kehati-hatian. Tanpa pengelolaan yang baik, kondisi perusahaan seperti itu menjadi rentan, terlebih dalam tekanan ekonomi seperti saat ini.

"Artinya kalau di sini [investasi] dia failed, ya sudah, selesai semua. Paling yang kami kejar adalah pemegang saham pengendalinya untuk menambah modal, jika itu [penambahan modal] tidak terjadi, ya sudah, berarti perusahaan itu gagal, dan ini yang kami khawatirkan akan berakibat kepada industri secara keseluruhan," ujar Nasrullah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Ropesta Sitorus
Terkini