Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menekankan teknologi finansial peer-to-peer (fintech P2P) lending harus mulai fokus pada kualitas, untuk mengimbangi lonjakan pertumbuhan pengguna ke depan.
Hal ini diungkap Deputi Direktur Pengaturan, Penelitian dan Pengembangan Fintech OJK Munawar Kasan dalam diskusi virtual bersama PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) bertajuk Menatap Masa Depan Fintech dan UMKM 2021, Selasa (15/12/2020).
"Dari 152 platform ternyata data kami menunjukkan 45 platform masih memiliki ekuitas di bawah Rp2,5 miliar. Memang boleh dibilang kecil-kecil, belum seperti industri lain karena posisinya sebagai platform. Bahkan ada beberapa yang ekuitasnya negatif. Ini akan jadi fokus OJK ke depan," jelasnya.
Menurut Munawar, OJK tak pernah ragu bahwa fintech P2P lending masih akan terus tumbuh tinggi dan berkembang. Namun, regulator mengajak para penyelenggara untuk mulai menggeser fokusnya agar membaiknya kualitas industri beriringan dengan pertumbuhan kuantitatif.
"Ke depan memang kami lihat pertumbuhan industri ini masih akan tinggi ketimbang industri lain. Walaupun pertumbuhannya tidak sebesar periode 2017 sampai 2019. Tahun ini P2P lending akumulasi penyalurannya per Oktober 2020 hanya tumbuh sekitar 24 persen. Memang lebih tinggi daripada industri keuangan lain, dan trennya kurang lebih sama," ujarnya.
Menurut Munawar, pertumbuhan ini akan ditopang kondisi perekonomian nasional serta kemampuan para penyelenggara dalam memenuhi ketentuan-ketentuan baru dari OJK. Dia juga menyebutkan OJK akan mengatur tentang permodalan dan ekuitas P2P lending dalam regulasi baru.
"Karena yang hanya memiliki modal-modal kecil banyak yang akhirnya tidak bisa bertahan. Proses-proses pencarian investor dan modal memang sudah berlangsung sejak 2019 sampai 2020 dan ke depan ini masih akan tetap berlangsung karena kegiatan ini memang butuh modal," jelasnya.
Lebih lanjut, Munawar mengungkapkan jumlah penyelenggara P2P lending diproyeksi berkurang karena regulasi baru. Pasalnya akan ada tren di mana setiap penyelenggara mulai menyasar ekosistem spesifik dan unik daripada platform lain. Selain itu, ada tren kolaborasi antarpenyelenggara fintech lending, serta kerja sama yang makin masif dengan industri perbankan.
"Saat ini yang bisa kerja sama dengan perbankan menjadi lender, memang kita batasi hanya yang sudah berizin. Yang berizin sekarang baru 36, sisanya terdaftar. Kita harap yang terdaftar ini segera jadi berizin, sehingga yang bisa kerja sama dengan perbankan makin banyak," ujarnya.
Oleh sebab itu, Munawar menegaskan bahwa setidaknya ada enam tantangan yang harus dihadapi tiap penyelenggara P2P lending. Di antaranya, eksplorasi ekosistem baru, meringankan bunga dengan mengoptimalkan credit scoring dan keandalan teknologi.
Selain itu, tiap perusahaan industri pendanaan bersama harus mulai bersiap memenuhi ketentuan baru, baik regulasi OJK maupun RUU Perlindungan Data Pribadi, serta terus ikut mengedukasi publik, dan terakhir jeli melihat nilai tambah.
"Jadi bukan hanya menyalurkan pinjaman. Banyak para pemain yang melakukan lebih dari itu. Misalnya, teman-teman di [sektor] pertanian itu ternyata bukan hanya menyalurkan pinjaman, tapi ikut memfasilitasi penjual. Amartha ini juga saya apresiasi karena menggelar pendampingan borrower terdampak pandemi untuk melakukan pivot business atau beralih dulu dari bisnis utama untuk bertahan. Nilai tambah ini harus terus didorong," tutupnya.
Menurut Munawar, nilai tambah semacam ini akan ikut membawa peningkatan kepercayaan masyarakat, karena nama industri P2P lending akan semakin positif, dinilai bermanfaat, dan terbukti memberikan dampak nyata buat Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel