Lembaga Keuangan Mikro Masih Andalkan Loyalitas dan Ikatan Emosional Nasabah

Bisnis.com,05 Jan 2021, 19:22 WIB
Penulis: Aziz Rahardyan
Lembaga Keuangan Mikro. /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Penjagaan terhadap nasabah yang loyal dan punya ikatan emosional, masih jadi senjata utama Lembaga Keuangan Mikro (LKM) untuk bertahan hidup pada periode 2021.

Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI) Tuti Ermawati menjelaskan, pangsa pasar Bank Perkreditan Rakyat (BPR/BPRS) dan rumpun koperasi simpan pinjam/Baitul Maal wa Tamwil/LKM/LKMS terbilang lebih lokal dan dekat.

"Karena lembaga keuangan mikro ini lebih cepat dan mudah, tidak terlalu ketat. Dari pengamatan kami, usaha mikro dan kecil di daerah itu memang tidak terlalu memikirkan tingkat suku bunga, yang penting dekat dan cepat," ungkapnya kepada Bisnis, Selasa (5/1/2021).

Menurut Tuti, apabila para LKM ini mampu membuat ekosistem yang tepat untuk ikut membantu para pedagang atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di wilayahnya masing-masing, maka mereka tak akan kesulitan bertahan hidup pada 2021.

"Apalagi nasabah itu biasanya loyal, ya. Bahkan, UMKM yang sudah bankable pun, masih sering meminjam ke LKM terdekat, untuk arus kas yang butuh cepat. Karena ikatan emosional mereka biasanya sudah terbangun, sudah saling kenal, atau merasa pernah dibantu di masa lalu," tambahnya.

Namun, Tuti mengingatkan peluang ini merupakan kelebihan, namun juga bisa menjadi hambatan yang harus diantisipasi dengan strategi tertentu, agar LKM bisa berkembang.

Terlebih, menilik semakin banyak pesaing yang muncul mengincar pangsa pasar mereka, seperti para pemain teknologi finansial (fintech) yang jangkauannya luas, atau badan usaha dan program pemerintah yang mengincar yang sama.

"Apalagi di masa pandemi ini LKM juga ada program restrukturisasi kan, likuiditas mereka pasti terganggu. Sedangkan LKM itu sampai sekarang juga masih sulit dapat pendanaan, sehingga bantuan likuiditas buat mereka pun bisa jadi solusi. Karena, perlu diingat nasabah LKM di desa itu kebanyakan tidak melek digital. Account officer mereka harus jalan terus untuk mendampingi, dan itu biayanya besar," ujarnya.

Tuti mengungkapkan, penyaluran dana pemulihan ekonomi lewat Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (LPDB KUMKM) sebesar Rp1,9 triliun per Desember 2020 kepada 114 koperasi. Hal ini merupakan salah satu contoh yang bagus terkait bantuan likuiditas pemerintah kepada LKM.

Namun demikian, program ini belum mencakup semua. Buktinya, dari penelitian LIPI ke sekitar 600 LKM di seluruh Indonesia, baru 16,2 persen rumpun koperasi yang mendapatkan bantuan likuiditas, sementara BPR/S hanya 22,2 persen.

Dari sisi rumpun koperasi, 47,3 persen masih mengaku kesulitan memenuhi persyaratan dalam mendapatkan bantuan likuiditas. Adapun rumpun BPR/S yang kesulitan, mencapai 46,3 persen.

Sebanyak 72,8 persen dari para LKM ini pun mengaku masih butuh bantuan likuiditas, sementara 48,4 persen membutuhkan insentif pajak. Selain itu, 46 persen menekankan adanya bantuan terhadap pendampingan nasabah, dan 6,5 persen menginginkan adanya insentif, seperti bantuan perlindungan kesehatan, suku bunga, pembebasan denda, subsidi gaji untuk sumber daya manusia (SDM), atau stimulus perekonomian.

"Jadi, memang harus ada keberpihakan pemerintah yang lebih luas, supaya tidak redundant juga kalau ada program serupa untuk pangsa nasabah LKM. Selain itu, internal LKM juga harus berbenah, audit keuangan harus semakin standar, dan mengincar digitalisasi, atau memperluas kerja sama dengan para pelaku layanan keuangan berbasis teknologi," tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Ropesta Sitorus
Terkini