Menakar Dampak Pemeriksaan Kejagung di BPJS Ketenagakerjaan ke Pergerakan IHSG

Bisnis.com,26 Jan 2021, 10:42 WIB
Penulis: Dwi Nicken Tari
Karyawan beraktivitas didepan papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (30/11/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA – Pemeriksaan Kejaksaan Agung (Kejagung) atas investasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Ketenagakerjaan disebut-sebut menambah tekanan terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) belakangan ini.

Berdasarkan data Bloomberg pada Selasa (26/1/2021), IHSG masih berada di zona merah dengan pelemahan 0,25 persen di level 6.240 pada pukul 09.24 WIB. Adapun posisi indeks sekarang ini memperpanjang penurunan selama tiga hari beruntun.

Kepala Riset Reliance Sekuritas Lanjar Nafi berpendapat pelemahan IHSG turut dipicu oleh kekhawatiran investor mengenai penyelidikan Kejagung di BPJS Ketenagakerjaan.

Baru-baru ini, Kejagung mulai memeriksa investasi BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk saham dan reksadana yang mengalami kerugian belum terealisasi senilai lebih dari Rp40 triliun dari total investasi sekitar Rp400 triliun.

“[Pelemahan IHSG karena] aksi kekhawatiran investor terhadap kasus BPJS Ketenagakerjaan yang diselidiki secara intensif oleh Kejagung,” tulis Lanjar dalam riset, Selasa (26/1/2021).

Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, perseroan menempatkan investasinya ke dalam berbagai instrumen. Mayoritas investasi atau sebesar 64 persen dana ditempatkan dalam bentuk aset surat utang dan sebanyak 10 persen di deposito.

Sementara di saham, BPJS Ketenagakerjaan menempatkan dana 17 persen dari total investasi, 8 persen di reksa dana, dan 1 persen investasi langsung.

Sejak 2016, imbal hasil dari investasi BPJS Ketenagakerjaan terpantau beragam. Paling tinggi perseroan mendapatkan return 7,82 persen pada 2018. Pada 2018 hingga 2020, terpantau imbal hasil investasi perseroan menurun seiring dengan pelemahan IHSG.

Bahkan pada periode Agustus—September 2020, BPJS Ketenagakerjaan membukukan kerugian belum terealisasi mencapai Rp40 triliun atau melonjak dari periode Desember 2019 yang senilai Rp13 triliun—Rp14 triliun.

Sementara itu, pada Januari 2021, kerugian belum terealisasi masih terjadi namun sudah turun kembali ke level Rp13 triliun.

Kendati IHSG begitu terpuruk pada 2020 akibat pandemi, BPJS Ketenagakerjaan masih dapat mendulang cuan setidaknya dari saham PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI).

Dari data Bloomberg, BPJS Ketenagakerjaan terpantau mengakumulasikan saham Bank Mandiri dalam ukuran jumbo sejak kuartal II/2020 ketika harga saham BMRI turun ke titik terendah hingga Rp3.720 per saham.

Berdasarkan data historis, saham BMRI bergerak di atas Rp7.273 sebelum pandemi melanda pada 2020. Adapun, sejak menyentuh titik terendah, saham BMRI bangkit 70,03 persen pada akhir 2020.

Pada akhir kuartal IV/2020, BPJS Ketenagakerjaan memiliki 857,75 juta saham BMRI yang menjadikan perseroan sebagai pemilik saham Bank Mandiri terbesar kedua setelah Pemerintah Indonesia. Padahal, pada kuartal I/2020, BPJS Ketenagakerjaan sama sekali belum memegang saham BMRI.

Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek Irvansyah Utoh Banja menjabarkan bahwa penempatan investasi di instrumen saham merupakan salah satu kebijakan badan tersebut untuk menggerakkan dana kelolaan.

Badan itu menempatkan investasi di saham dalam dua bentuk, yakni melalui portofolio saham dan penempatan langsung. Penempatan investasi di pasar modal mencatatkan jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan penempatan langsung.

"Portofolio saham itu maksudnya saham yang ada di pasar modal, pembeliannya pasti melalui sekuritas," ujar Utoh kepada Bisnis, Selasa (19/1/2021).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Ropesta Sitorus
Terkini