Bisnis.com, JAKARTA - Kendati bakal berebut pangsa pasar yang sama, yakni pelaku usaha mikro yang unbankable dan underserved, platform fintech peer-to-peer (P2P) lending tak menganggap rencana holding ultra mikro pemerintah sebagai ancaman.
Seperti diketahui, pemerintah tengah mengkaji penggabungan tiga BUMN yang akan terlibat dalam pembentukan holding ultra mikro, yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., PT Permodalan Nasional Madani (Persero), dan PT Pegadaian (Persero).
Juru Bicara Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Andi Taufan Garuda Putra berpendapat 'kue' credit gap permodalan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masih terlalu besar untuk dinikmati sendiri oleh platform P2P lending sektor produktif.
"Credit gap untuk kebutuhan pembiayaan UMKM Nasional sebesar Rp989 triliun, AFPI per 2020 baru dapat mengisi sebesar 7,3 persen," ujar pria yang juga founder P2P segmen UMKM pedesaan PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) ini kepada Bisnis, Selasa (9/2/2021).
Oleh sebab itu, bersatunya entitas pembiayaan mikro justru dapat mempercepat pemenuhan credit gap tersebut dan berdampak positif untuk ekonomi di Indonesia
Taufan menambahkan, AFPI beserta para platform yang bermain di sektor produktif, pun melihat rencana pemerintah ini sebagai salah satu peluang dan potensi bagi industri fintech pendanaan untuk ikut berkembang.
"Karena perubahan yang paling terasa jika holding ini terbentuk adalah meningkatnya data nasabah secara digital. Proses digitalisasi ini yang dapat menjadi pintu masuk yang sangat potensial bagi industri fintech pendanaan, terlebih yang fokusnya terhadap [penyaluran pinjaman] UMKM," tambahnya.
Seperti diketahui, fintech P2P lending merupakan platform yang mempertemukan pendana (lender) untuk menyalurkan dana kepada peminjam dana (borrower) secara digital.
Oleh sebab itu, rekam jejak digital dari para UMKM yang berminat menjadi borrower merupakan senjata andalan suatu platform P2P lending, untuk menekan risiko pengembalian pinjaman macet, maupun gagal bayar.
"Terkini, pelaku UMKM pun tercatat masih mendominasi pangsa borrower di platform fintech P2P lending, baik yang konvensional, maupun syariah," ungkapnya.
Taufan menjelaskan hal ini terungkap dalam penelitian AFPI bersama DailySocial Research (DSResearch) bertajuk 'Evolving Landscape of Fintech Lending in Indonesia'.
"Profil borrower dari P2P lending yang fokus di sektor produktif mencatatkan pangsa 42,4 persen untuk UMKM online, disusul full time worker 38,5 persen, serta UMKM offline yang pangsanya sejajar dengan Labor/Farmer/Fishermen di 35,8 persen," jelasnya.
Adapun profil borrower di fintech P2P lending syariah, tampak seperti kebalikannya, yakni didominasi UMKM offline mencapai 70 persen, disusul full time worker 50 persen, dan UMKM online 40 persen.
Penyaluran industri fintech P2P lending sepanjang 2020 mencapai Rp74,41 triliun atau naik 26,47 persen (year-on-year/yoy) dari capaian 2019. Sementara akumulasi penyaluran sejak berdiri telah menyentuh Rp155,9 triliun.
Industri P2P tercatat telah menggaet investor ritel maupun perusahaan sebagai lender ke angka 716 ribu entitas. Sementara itu, akumulasi borrower yang meminjam dari seluruh platform P2P lending legal, jumlahnya telah mencapai 43,56 juta entitas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel